Liputan6.com, Jakarta Sebagai negara kepulauan, Indonesia dinilai lemah dalam sektor transportasi laut, termasuk penyeberangan. Infrastruktur terus dibangun, namun peta komoditi logistik, penumpang, pengaturan pemain industri pelayaran dan ketersediaan regulasi yang menunjang diabaikan regulator.
Kondisi ini membuat implementasi di lapangan disebut masih berantakan. “Jadi memang inti permasalahannya adalah sektor transportasi penyeberangan ini tidak pernah lepas dari permasalahan ya. Jadi sampai presiden mengeluarkan kebijakan tol laut sampai hari inipun industri maritim dan logistik tidak maju, bermasalah saja,” ujar Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen, Agus Pambagio dalam diskusi virtual, Rabu (16/9/2020).
Padahal, kata dia, infrastruktur kelautan terus dibangun sejak tahun 2014, tetapi pengaturan akan hal ini juga masih membingungkan.
Advertisement
Di sisi lain, Agus juga mendapati tingkat korupsi di industri kelautan yang semakin masif dan merata. Ini menjadi penghancur utama industri kelautan dan pada akhirnya membuat logistik nasional hancur.
Di saat yang bersamaan, pemerintah berusaha menekannya dengan pengawasan secara digital. Namun dalam pelaksanaannya terjadi monopoli oleh pengelola pelabuhan. Pada akhirnya merugikan industri penyeberangan, dunia usaha dan atau short shipping.
“Inti permasalahannya kan semua sekarang kita mengurangi resiko itu korupsi di laut pakai digitalisasi. Tetapi digitalnya juga sepertinya diproteksi mirip monopoli. Kalau saya lihat yang di Merak, di penyeberangan-penyeberangan itu agak repot. Digitalisasi oleh operator pelabuhan yang merangkap operator ini angkutannya. Jadi pasti dia akan memproteksi angkutannya,” jelas Agus.
Untuk itu, Agus meminta ketegasan dari pemerintah terkait dengan segala hal yang mengatur mobilisasi sektor ini.
Pasalnya, selama ini terjadi dualisme regulasi yang dikeluarkan oleh dua direktorat jenderal di kementerian perhubungan. Keduanya pada direktorat jenderal perhubungan laut dan direktorat jenderal perhubungan darat.
“Perlu ketegasan kementerian perhubungan terkait dengan izin operasi angkutan laut dan atau penyeberangan,” papar Agus.
Dia meminta regulator pemberi izin kapal berlayar harus satu ditjen di Kementerian Perhubungan. Hal ini agar implementasi kebijakan di lapangan tidak ambigu.
Diakui Pengusaha
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Gapasdap Khoiri Soetomo juga menyampaikan hal senada. Di mana sempat terjadi banjir izin pada tahun 2014 yang diterbitkan melalui PM 80/2014.
Dia mencontohkan pada 2014, ada 200 aturan menteri yang terbit saat itu. "Sampai-sampai saya selaku ketua Asosiasi itu harus naik turun pada jam yang sama, hari yang sama membahas dua peraturan menteri. Yang satu dibahas di perhubungan darat, yang lain dibahas Perhubungan laut pada lokasi yang sama di gedung yang berbeda lantai yang berbeda,” beber Khoiri.
Dengan keberadaan ijin-ijin tersebut, dia menilai terjadi over supply. Sehingga rata-rata okupansi dari operasi per bulan kapal-kapal penyeberangan hanya 34 persen.
“Dan di angkutan penyeberangan ini di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Darat begitu ketat aturan-aturan yang diterapkan. Jadi high regulated industry, mulai penerapan tarifnya kemudian jadwal operasi, sampai regulasi keselamatan dan kenyamanan, ini sangat lengkap. Boleh dikatakan terlalu lengkap dan terlalu banyak. Sehingga menjadi beban biaya yang cukup berat,” jelas Khoiri.
Advertisement