Liputan6.com, Jakarta - Dalam dua bulan terakhir, pasar properti khususnya di subsektor hunian (rumah tapak) segmen menengah sudah menunjukkan tanda-tanda membaik. Sebagian end-user dan investor memanfaatkan momentum pandemi dengan bertransaksi properti.
"Di saat para pengembang berikan banyak promo, dan kemudahan cara bayar sudah pasti konsumen akan cuan (untung) di kemudian hari. Hal ini berimbas pada peningkatan sales para pengembang,"ungkap Hendry Nurhalim Chief Executive Officer (CEO) Harvest City, di Transyogi, Cibubur, Sabtu (19/9/2020).
Kenaikan penjualan rumah di dua bulan belakangan ini juga dialami perumahan skala kota Harvest City, Transyogi yang pada Juli dan Agustus 2020 perjualannya naik hingga 70 persen dibanding bulan-bulan sebelumnya. Hal ini tidak terlepas dari keberhasilan strategi marketing dan promosi lewat media online dan media sosial yang intens.
Advertisement
“Ketika vaksin Covid-19 diketemukan, kami optimis pasar properti bisa recovery lebih cepat. Sebab potensi market perumahan di Indonesia itu sangat besar. Data statistik kami menunjukkan pembeli Harvest City adalah kaum milenial usia 25 - 30 tahunan, yang membutuhkan rumah harga di bawah Rp400 jutaan. Segmen ini masih sangat besar,” ungkapnya.
Karena itu, lanjut Hendry, pihaknya optimis Harvest City dapat mencapai target penjualan tahun ini. Pencapaian marketing sales kami per 31 Agustus sudah mencapai 60 persen. Untuk menarik orang tinggal di sini, maka di tahun ini Harvest City akan melanjutkan penambahan beberapa fasilitas komersial. Sebelum (tahun lalu) telah beroperasi KFC, Narma Toserba, dan Roti Bakar 88, Indomaret Point, Foodcourt Eat & Treat serta Pos Polisi.
Menurut Hendry, selain 'momentum' Covid-19 dan promo menarik yang di tawarkan, kunci meningkatkan penjualan Harvest City tak terlepas dari makin lengkapnya fasilitas umum (fasum), fasilitas sosial (fasos), dan fasilitas komersial (faskom) yang ada.
“Kita juga sedang melakukan penjajakan dan negosiasi, kemungkinan besar akan deal. Mereka tertarik mengembangkan di Transyogi karena memang belum ada PT yang representatif di kawasan ini," kata Hendry. (Pramita Tristiawati)
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Lampu Kuning Industri Properti di Tengah Pandemi Covid-19
Industri properti menjadi salah satu yang terdampak pandemi Covid-19. Bahkan, anjloknya penjualan properti mengakibatkan keuangan perusahaan mulai kembang kempis, bahkan ada yang terancam pailit.
Maraknya kasus kepailitan yang menimpa pada sejumlah perusahaan pengembang properti nasional menjadi lampu kuning atau peringatan bagi para pengembang lainnya.
Ketua Lembaga Advokasi Konsumen Properti Indonesia Erwin Kallo mengatakan, maraknya kasus kepailitan menjadi lonceng bahaya yang dampaknya bisa merugikan banyak pihak.
"Perlindungan terhadap konsumen dan developer properti perlu menjadi prioritas karena acap kali kasus pailit justru ditunggangi oleh oknum-oknum yang memiliki kepentingan tertentu," ujar Erwin di Jakarta, Jumat (18/9/2020)
Pada kenyataannya, menurut Erwin, konsumen properti adalah pihak yang paling dirugikan jika terjadi kasus pailit. Hal ini karena konsumen bukan kreditur preferen sehingga pengembalian dana dilaksanakan paling akhir, jika semua pihak telah terbayarkan. “Justru itu, konsumen mau tidak mau harus mencegah terjadi pailit dalam rapat kreditur dengan menggunakan hak suara,” kata Erwin.
Dia menegaskan, yang paling untung dalam kasus pailit adalah oknum, para distressed investor dan tentu saja kurator. Karena kurator langsung mendapatkan bagian 7 persen di depan, apapun hasil akhir kepailitannya.
Dengan kondisi tersebut, Erwin sepakat revisi UU Kepailitan dan PKPU wajib diakselerasi oleh Pemerintah dan DPR, revisi UU Kepailitan dan PKPU diharapkan mampu menjaga dan melindungi industri properti termasuk konsumen dan developer dari ulah para oknum.
Advertisement
Pisau Bermata Dua
Sementara praktisi hukum dari Hermawan Juniarto & Partners Cornel B Juniarto, menilai undang-undang maupun peraturan tentang kepailitan ibarat pisau bermata dua. Ia mencontohkan Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
"Keduanya secara prinsip merupakan payung hukum bagi para pelaku usaha dan pemangku kepentingan yang mengatur tata cara atau mekanisme penyelesaian kewajiban yang timbul dari suatu perjanjian atau transaksi," jelasnya.
Namun demikian, menurutnya, sebagai pijakan hukum, UU Kepailitan dan PKPU telah mengalami beragam ujian, khususnya berkaitan dengan tingkat efektifitasnya sebagai sumber hukum dalam penyelesaian kewajiban antara kreditur dan debitur di masyarakat. Secara sederhana, kepailitan dikenal sebagai sarana yang dapat digunakan oleh para kreditur untuk “memaksa” debitur menyelesaikan kewajibannya, sementara sebaliknya PKPU merupakan sarana yang dapat digunakan bagi debitur untuk menyelamatkan usahanya dari ancaman kebangkrutan.
“Namun kenyataannya, dalam beberapa kasus, UU kepailitan dan PKPU justru digunakan oleh debitur sebagai sarana untuk menghindari pemenuhan kewajbannya terhadap para kreditur,” tegas Cornel.