Liputan6.com, Jakarta - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mendesak agar Kejaksaan Agung (Kejagung) menyita seluruh aset terdakwa yang telah menyebabkan meruginya PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Bahkan nilai aset yang disita oleh Kejaksaan Agung kepada terdakwa harus sama dengan nilai kerugian negara yang timbul dari kasus Jiwasraya.
"Kerugian negara dengan aset yang disita seharusnya sama," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman kepada wartawan, Senin (21/9/2020).
Menurutnya, penyitaan seluruh aset terdakwa tersebut bisa menjadi modal pemerintah untuk melaksanakan restrukturisasi di tubuh Jiwasraya. Karena pada dasarnya, aset-aset milik terdakwa itu diperoleh dari nasabah.
Advertisement
"Artinya, jika Jiwasraya akan melakukan restrukturisasi, otomatis aset akan menjadi milik nasabah untuk diproses dikembalikan dari Jiwasraya," jelasnya.
Seperti diketahui, pemerintah memilih opsi restrukturisasi untuk menyelamatkan polis Jiwasraya melalui pendirian perusahaan baru bernama Indonesia Finansial Group (IFG) Life di bawah PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI).
Pendirian IFG Life itu membutuhkan dana sebanyak Rp24,7 triliun. Salah satunya, pemerintah sudah menegaskan akan mencairkan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebanyak Rp20 triliun kepada BPUI. Namun saat ini, Jiwasraya mencatatkan defisit ekuitas sebesar Rp37,7 triliun karena kondisi aset yang buruk serta pengelolaan produk asuransi yang tidak optimal. Akibatnya, Jiwasraya menanggung total liabilitas atau kewajiban sebesar Rp54 triliun.
Berangkat dari hal itu, Boyamin menilai aset-aset milik terdakwa harus menjadi milik negara untuk membantu restrukturisasi. "Aset menjadi milik negara khususnya Jiwasraya. Harus tetap memburu aset-aset terdakwa termasuk yang di luar negeri," tutup dia.
Seperti diketahui, saat ini terdapat enam terdakwa yang asetnya tengah diincar, yaitu Direktur Utama PT Hanson International Tbk Benny Tjokrosaputro, Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Heru Hidayat, Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto.
Benny Tjokro Bantah Goreng Saham MYRX dalam Kasus Jiwasraya
Terdakwa kasus dugaan korupsi di PT Asuransi Jiwasraya, Benny Tjokrosaputro menegaskan, tidak ada aksi pump and dump atau goreng saham di PT Hanson International Tbk (MYRX) pada Agustus 2016.
Menurutnya, saat itu emiten tersebut merealisasikan aksi korporasi berupa stock split atau pemecahan nilai saham.
“2016, kalau tidak salah bulan Agustus, itu stock split, bukan pump and dump,” ujar Benny Tjokro ketika ditanya terdakwa Syahmirwan, Mantan GM Investasi dan Kadiv investasi PT Asuransi Jiwasraya periode 2008-2018.
Benny Tjokro sendiri saat itu dihadirkan sebagai saksi mahkota dalam lanjutan persidangan perkara dugaan korupsi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (14/9/2020).
Selain Benny, saksi mahkota yang memberikan keterangan dalam persidangan tersebut adalah Heru Hidayat dan Joko Hartono Tirto.
Benny memerinci, pada saat itu MYRX merealisasikan stock split dengan rasio satu banding lima. Menurutnya, nilai saham itu dipecah menjadi lima kali lebih kecil dibandingkan harga saat itu.
Menurut pemilik MYRX ini, sebelum stock split, harga saham MYRX mencapai 600-an. Setelah melakukan aksi korporasi itu, nilainya berkisar 120-130.
“Dari harga 600 sekian. Karena split menjadi lima kali sekitar 120-an atau 130-an. Jadi, bukan pump and dump yang setiap kali digambar oleh bapak-bapak JPU (Jaksa Penuntut Umum),” kata dia.
Benny menjelaskan bahwa stock split memang menyebabkan penurunan harga saham dalam waktu seketika. Namun, nilai intrinsik saham tidak mengalami perubahan.
Dia memberikan contoh, 1 juta lembar saham dengan harga 600 per lembar memiliki nilai total Rp 600 juta. Dengan melakukan stock split dengan rasio 1:5, harga saham per lembar mencapai 120, tetapi nilai totalnya tetap sama yakni Rp 600 juta.
“Bukan (pump and dumb). Karena nilai intrinsiknya sama. Justru kalau tidak turun (harga saham per lembar) aneh. Orangnya jadi tambah kaya 5 kali lipat kan. Tidak masuk akal itu," kata Benny.
Advertisement