Liputan6.com, Jakarta - Seiring dengan meningkatnya kebutuhan hand sanitizer dan cairan sterilisasi lainnya saat pandemi, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mencatat adanya kenaikan cukai atas Etil Alkohol sebesar 140 persen (yoy) atau Rp 200 miliar.
“Untuk etil alkohol yang digunakan untuk berbagai kegiatan apa komoditas untuk kesehatan hand sanitizer mengalami lonjakan 140 persen. Meskipun angkanya sangat kecil yaitu hanya Rp 200 miliar,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam APBN Kita, Selasa (22/9/2020).
Baca Juga
Sementara, secara keseluruhan penerimaan bea cukai mencapai Rp 121,17 triliun, atau 58,91 persen dari target Perpres Nomor 72 tahun 2020.
Advertisement
Adapun total penerimaan dari bea masuk sebesar Rp 21,55 triliun, atau 67,70 dari target Perpres 72/2020. Kemudian dari komoditas yang dikenai cukai, selain tadi disebutkan etil alkohol, ada hasil tembakau sebesar Rp 94,39 triliun.
“Untuk penerimaan hasil tembakau kita yaitu Rp 94,39 triliun. Untuk beberapa komoditas yang terkena cukai seperti minuman beralkohol dalam hal ini mengalami kontraksi. Ini seiring penutupan hotel restoran itu mengalami kontraksinya sangat dalam yaitu minus 23,2 persen (Rp 3,9 triliun)” jelas Menkeu.
Kemudian, untuk bea keluar Menkeu mencatat penerimaan sebesar Rp 1,91 triliun, atau 115,26 persen dari target Perpres 72/2020 sebesar Rp 1,65 triliun.
Penerimaan Pajak Sampai Akhir Agustus 2020 Baru Sebesar Rp 676,9 T
Penerimaan pajak hingga akhir Agustus 2020 mengalami kontraksi sebesar 15,6 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Dengan begitu, penerimaan pajak sampai dengan akhir bulan kedelapan baru sebesar Rp 676,9 triliun.
"Penerimaan Pajak mencapai Rp 676,9 triliun, maka penerimaan pajak kontraksi 15,6 persen," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam keterangan pers secara online, Jakarta, Selasa (22/9/2020).
Sri Mulyani merinci penerimaan perjenis pajak, untuk PPH 21 secara year on year mencapai negatif 5,27 persen, namun dibandingkan tahun lalu tumbuh 10,5 persen. Apabila dilihat secara month to month, kontraksi terdalam terlihat pada Juli yakni minus 20,38.
"PPH 22 impor, kondisi impor kita masih sangat dalam dan terlihat dari PPH impor kita. Bahkan kuartal I yang negatif, Kuartal II ini dari Juni Juli Agustus kita lihat kontraksinya semakin dalam di negatif 65,5 dan 69,7. Secara year on year PPH 22 impor itu dari tadinya tahun lalu hanya tumbuh 0,57 tahun ini kontraksinya negatif 38,44," paparnya.
Lalu PPH Orang Pribadi mengalami rebound di Kuartal II karena pergeseran pembayaran, namun masih bisa bertahan pada Juli dan Agustus yakni 11,5 persen dan 3,56 persen. "Kita tetap menjaga untuk Orang Pribadi meskipun kita lihat secara meluas masyarakat mengalami tekanan dari pendapatan mereka," kata Sri Mulyani.
Selanjutnya, PPH badan masih mengalami tekanan sangat berat. Secara year on year pada tahun lalu 0,81 persen, tahun ini minus 27,52 persen. Month to month juga masih menunjukkan tekanan bahkan lebih berat dari kondisi Juli dan Kuartal I.
Kuartal I Pajak penghasilan badan atau PPH badan kontraksinya 13,5 persen, pada Agustus Juli sudah mencapai hampir 50 persen yakni 45,5 dan 49,9 persen.
"Ini berarti sektor usaha perusahaan atau badan mengalami tekanan luar biasa yang kemudian terlihat dari penerimaan pajak badan. Ini juga sebagian beberapa komoditas seperti CPO, batubara yang alami tekanan meski CPO agak positif," paparnya.
Advertisement