Liputan6.com, Jakarta Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan, petani kopi termasuk yang sangat terdampak pandemi Covid-19. Saat produksi tinggi, namun pandemi membuat daya serap kopi menurun.
"Ini dilatarbelakangi pemahaman bahwa banyak komoditi pangan yang tidak terserap. Daya beli turun dan ekspor turun. Kami lihat salah satunya kopi, padahal produksinya sedang baik. Namun karena menghadapi pandemi, penyerapan terganggu," kata Teten dalam Webinar Solusi Penyerapan dan Pembiayaan Kopi di tengah Pandemi di Jakarta, Rabu (23/9/2020).
Dia pun mendorong para petani memperkuat kelembagaan dengan membentuk koperasi. Hal tersebut menjadi salah satu solusi agar permasalahan para petani kopi yang terjadi saat ini dapat diatasi. Mulai dari kesulitan dalam menjual produk kopi, hingga faktor pembiayaan.
Advertisement
"Saya mendorong agar di setiap daerah petaninya tergabung dalam koperasi. Saya ditugaskan Bapak Presiden untuk memperkuat koperasi pangan dan produksi, terutama di sektor pertanian, perikanan dan perkebunan. Kopi adalah salah satu keunggulan domestik, kita perkuat kelembagaannya," ujarnya.
Selain itu, koperasi dengan perkuatan LPDB-KUMKM, akan menjadi off taker (pembeli barang) produk pertanian, sehingga akan terdapat perlindungan dari sisi pasar, karena produk akan dibeli oleh koperasi.
"Yang terjadi sekarang adalah petani kesulitan untuk menjual produknya. Kami rancang kelembagaan, sehingga penjualan produk ini dapat diintegrasikan dengan koperasi, agar petani tidak lagi mengalami kesulitan penjualan," ungkapnya.
KemenkopUKM akan terus berkomunikasi dengan Kementerian Pertanian dalam penyediaan bibit unggul serta penyuluhan, demi kesejahteraan petani.
"Kualitas bibit dan penanaman perlu ditingkatkan. Kami integrasikan dengan Kementan untuk penyuluhan dan penyediaan bibit unggul, sehingga akan meningkatkan perbaikan kesejahteraan petani,"Â jelas dia.
Adapun Kopi menjadi salah satu komoditi prioritas dalam pengembangan Koperasi dan UMKM, karena melibatkan banyak pelaku usaha mikro.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2018, 96,6 persen lahan kopi di Indonesia dikuasai oleh perkebunan rakyat (petani mikro dan kecil).
Sebanyak2,02 persen perkebunan swasta dan 1,86 persen oleh perkebunan besar milik negara. Sedangkan petani kopi di Indonesia mencapai 1,3 juta orang, yang menempati urutan nomor 3 di dunia setelah Ethiopia dan Uganda.
Â
Saksikan video di bawah ini:
Cerita Kopi dari Tanah Dogiyai Papua yang Tak Sekadar Jual Komoditi
Indonesia memang kaya akan varietas kopi. Dari Aceh sampai Papua, nyaris tak ada provinsi yang tak memproduksinya, termasuk di tanah Dogiyai, Papua.Â
Perkebunan kopi di Dogiyai sudah ada sejak masa Belanda berkuasa, sekitar 1920-1930. Varietas yang dikembangkan adalah kopi arabika. Hingga kini, para petani masih menggunakan teknik manual untuk membudidayakannya.
"Kita kupas kopi pake tangan sendiri, manual. Dan jemur juga, di luar. Kalau hujan, kita setengah mati juga. Kalau hujan, kita bawa masuk ke rumah, kita tunggu lama," tutur Hanok, salah satu petani kopi Dogiyai dalam sebuah video yang diunggah lewat akun Instagram @belift.project, 12 September 2020.
Baca Juga
Ia menyebut, kopi belum menjadi komoditi yang dianggap menguntungkan bagi petani. Padahal, tanah setempat subur sehingga menumbuhkannya tak perlu dipupuk. Belum lagi soal harga yang tidak stabil, terutama di masa pandemi ini. Bahkan, petani kini kesulitan menjual hasil panen mereka yang jumlahnya mencapai satu ton.
Terdorong kesulitan petani, Belift, sebuah usaha sosial yang berfokus pada specialty coffee, meluncurkan Belift Dogiyai Project. Proyek tersebut menjual roasted coffee dari Dogiyai melalui model perdagangan langsung dan menggunakan platform e-commerce. Tujuannya adalah membantu petani setempat menjual hasil panen tahun ini sebanyak 500 kilogram green beans atau 50 persen dari sisa panen yang tak terjual.
"Belift sendiri telah mengolah green beans menjadi roasted coffee beans dan akan menjual sebanyak 2.000 coffee box (berisikan 200gr roasted coffee beans) dengan harapan dapat menjual semua barang sampai akhir bulan Oktober," kata co-founder Belift, Ivan Hartanto kepada Liputan6.com, Kamis (17/9/2020).
Ia mengatakan seluruh laba dari proyek tersebut akan dikembalikan kepada komunitas petani kopi Dogiyai yang berpartner, totalnya sekitar 300 petani. Donasi ditargetkan terkumpul sebanyak Rp75 juta, yang akan digunakan untuk memperbaiki dan menambah kapasitas gudang dan meja pengering.
"Meskipun Belift akan terus memantau dan membantu pembenahan infrastruktur ini, hak milik semua peralatan akan diserahkan ke petani," imbuh Ivan.
Ivan melanjutkan, proyek pengadaan fasilitas itu bakal dimulai sekitar November--Desember 2020. Bila instalasi bisa diselesaikan pada Februari atau Maret, ia berharap kualitas kopi akan meningkat secara drastis pada masa panen depan.
"Dan, Belift dapat memperkenalkan kopi Dogiyai untuk bersaing di Specialty Coffee Expo 2021 yang akan berlangsung di New Orleans, Amerika Serikat," sambung dia.
Menurut Ivan, citarasa kopi Dogiyai unik karena memiliki aroma dan aftertaste perpaduan cokelat, woody, rempah-rempah, dan toffee. Kopi tersebut kemudian dikemas dalam kotak yang didesain khusus, di dalamnya juga diselipkan kartu yang menceritakan perjuangan petani kopi Dogiyai.
Kopi Dogiyai edisi terbatas itu dijual secara pre-order di Tokopedia seharga Rp165 ribu. Sejak dipromosikan pada Agustus lalu, lebih dari 100 konsumen sudah memesan kopi ini.
"Setelah dua bulan mempersiapkan produk kopi, Belift Dogiyai project akhirnya secara resmi luncur ke khalayak publik pada tanggal 20 September," sambungnya.
Selain menjual kopi, Belift dan petani Dogiyai juga menyajikan cerita-cerita budaya lokal dan perjuangan para petani kopi melalui akun Instagram @belift.project. "Dinarasikan oleh karakter Meekabo, Belift berharap para pencinta kopi dan budaya lokal dapat mengenal lebih dalam budaya dan adat dari Dogiyai tanpa harus membeli kopinya," ia menambahkan.
Advertisement