Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan memprediksi defisit Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) mencapai 6,3 persen tahun ini. Pelebaran defisit tersebut menandakan penarikan utang tahun ini cukup besar dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Kepala BKF Febrio Kacaribu mengatakan, defisit sebesar 6,3 persen belum pernah terjadi. Bahkan, pada saat krisis 1998 Indonesia hanya mengalami defisit APBN sebesar 4 hingga 5 persen.
Baca Juga
"Indonesia, kita push ke 6,3 persen defisitnya. Belum pernah kita begitu defisitnya, dalam konteks krisis pun. 1998 pun kita defisitnya paling cuma 4 atau 5. Jadi belum pernah kita sedalam itu kita introduce fiskal," ujarnya dalam diskusi online, Jakarta, Jumat (25/9).
Advertisement
Febrio mengatakan, pelebaran defisit terjadi karena penerimaan suatu negara melambat bahkan tumbuh negatif. Sementara belanja yang dikeluarkan membengkak sehingga pilihan yang harus diambil adalah menambah utang.
"Kita lihat semua negara itu tergantung kemampuannya meminjam. Ingat defisit itu artinya meminjam uang karena uangnya nggak cukup sehingga dia belanja lebih banyak berarti utang," paparnya.
Dia menambahkan, pelebaran defisit ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga beberapa negara di dunia. "Jadi banyak negara memang agresif sekali dalam menghadapi krisis ini secara fiskal dan moneter," tandasnya.
Tarik Utang Rp 693 Triliun, Sri Mulyani Sebut Beban APBN Luar Biasa Berat
Kementerian Keuangan mencatat defisit Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) hingga akhir 2020 mencapai Rp500,5 triliun. Bersamaan dengan defisit tersebut, pemerintah juga sudah menarik utang sebesar Rp693,6 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah sudah melakukan penarikan SBN neto sebesar Rp671,6 triliun dan pinjaman neto sebesar Rp22 triliun. Utang baru tersebut memberikan beban yang luar biasa pada APBN.
"Dengan defisit Rp 500 triliun pemerintah sudah melakukan issuance SBN neto Rp671,6 triliun dan menarik pinjaman neto sebesar Rp22 triliun. Pembiayaan utang kita capai Rp693,6 triliun dari yang diperkirakan capai Rp1.220 triliun," kata Sri Mulyani, Selasa (22/9).
"Ini kenaikan luar biasa untuk SBN yakni 143 persen dari tahun lalu. Beban APBN kita luar biasa berat dan ini terlihat dari sisi pembiayaannya," sambungnya.
Sri Mulyani melanjutkan, dari sisi pembiayaan investasi sudah mencapai Rp27,2 triliun. Angka tersebut tersebar untuk investasi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum (BLU) dan lembaga lain, masing-masing mencapai Rp11,3 triliun, Rp11 triliun dan Rp5 triliun.
"Kita di sisi lain pembiayaan investasi ke BUMN mencapai Rp11,3 triliun dan investasi ke BLU mencapai Rp11 triliun dan ke lembaga lain Rp5 triliun. Sehingga total Rp27,2 triliun, kalau dilihat dari target prepres mencapai Rp257,1 triliun tahun ini," paparnya.
Sementara itu, dalam pembiayaan anggaran juga ada pemberian pinjaman sebesar Rp1,7 triliun dan kewajiban penjaminan Rp400 miliar sampai akhir Agustus. Adapun total pembiayaan keseluruhan sampai akhir Agustus mencapai Rp667 triliun atau naik 138 persen dibandingkan tahun lalu.
Advertisement