Sukses

Tak Ikut Mogok Kerja Nasional, KSPN Tetap Komitmen Kawal RUU Cipta Kerja

Advokasi yang telah dilakukan terkait RUU Cipta Kerja sudah melalui jalan panjang dan kajian kritis, lobi, hingga terlibat langsung dalam audiensi.

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah serikat pekerja (SP) dan serikat buruh (SB) sepakat untuk melaksanakan mogok kerja nasional pada 6-8 Oktober 2020. Aksi tersebut dimaksudkan sebagai bentuk penolakan terhadap Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.

Aksi mogok kerja nasional ini rupanya tidak akan diikuti oleh pekerja yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN). Pernyataan sikap ini ditegaskan dalam sebuah surat yang dikeluarkan pada Selasa, 29 September 2020.

Kendati demikian, Presiden KSPN Ristadi menegaskan, pihaknya tetap akan terus mengawal perumusan Omnibus Law demi kepentingan seluruh pekerja di Tanah Air.

"Iya, kami masih konsisten dengan hasil tim tripartit yg dibentuk pemerintah dan tim perumus yg dibentuk oleh DPR. Meski kami tidak ikut aksi mogok nasional karena situasi yg tidak memungkikan tapi kami akan tetap kawal sampai selesai," katanya kepada Liputan6.com, Rabu (30/9/2020).

Adapun dalam surat pernyataan sikapnya, KSPN menilai, advokasi yang telah dilakukan terkait RUU Cipta Kerja sudah melalui jalan panjang dan kajian kritis, lobi, hingga terlibat langsung dalam audiensi.

Selain itu, pihak konfederasi juga mempertimbangkan dampak pandemi Covid-19 yang belum berakhir dan sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat.

Mempertimbangkan beberapa hal tersebut, KSPN memastikan tidak akan ikut aksi mogok kerja nasional pada 6-8 Oktober 2020.

Namun, Ristadi berkomitmen, KSPN akan terus mengawal perumusan RUU Cipta Kerja dan menjalin komunikasi dengan Badan Legislatif (Baleg) DPR RI.

"Komunikasi intens dengan anggota Baleg DPR untuk terus memperjuangkan sesuai hasil tim tripartit dan kesepakatan tim perumus yg dibentuk DPR," ujar Ristadi.

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Tolak Omnibus Law, Buruh Gelar Mogok Kerja Serentak

Sebelumnya, Puluhan kelompok buruh menuding anggota DPR RI telah mengkhianati buruh, karena telah menyetujui usulan pemerintah mengesahkan pemberlakukan omnibus law klaster ketenagakerjaan. Tentunya hal itu dianggap merugikan buruh.

Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP TSK SPSI Roy Jinto, hasil kesepakatan panja dan pemerintah soal klaster ketenagakerjaan yaitu penghapusan syarat jenis pekerjaan, batasan waktu PWKT atau kontrak, outsourcing atau alih daya ini akan berakibatkan terhadap semua jenis pekerjaaan.

 

Selain itu ucap Roy hal yang merugikan lainnya, adanya jabatan tanpa ada batasan waktu menggunakan PKWT dan outsourcing, dikuranginya nilai pesangon, dihapuskannya upah minimum sektor, cuti-cuti yang menjadi hak buruh dan dipermudahnya perusahaan melakukan PHK.

"Ini membuktikan bahwa DPR bukan lagi representasi rakyat tidak mendengarkan aspirasi buruh," ujar Roy dalam keterangan resminya ditulis Bandung, Selasa, (29/9/2020).

Roy mengatakan pembahasan kedua belah pihak itu dilakukan pada 25 - 27 September 2020, dimana dari waktu pembahasan kelompok buruh melihat bahwa DPR dan Pemerintah melakukan pembahasan kejar tayang dan target .

Itu dapat dilihat sebut Roy, pada hari libur yaitu Sabtu - Minggu lalu tetap dilakukan pembahasan sampai pukul 23.00 WIB di hotel mewah dan berpindah-pindah tempat memicu kemarahan kelompok buruh.

"Hasil rapat pimpinan serikat pekerja dan serikat buruh yang terdiri dari KSPSI, KSPI, Aliansi Gekanas yang didalamnya ada 32 federasi serikat pekerja tingkat nasional pada tanggal 27 September 2020, menyatakan menolak seluruh hasil pembahasan panja dan pemerintah mengenai Omnibus Law Cipta Kerja khususnya klaster ketenagakerjaan," sebut Roy.

Roy menegaskan kelompok buruh akan melakukan perlawanan secara konstitusional dengan melakukan aksi unjuk rasa dan mogok nasional. Rencananya unjuk rasa buruh akan dilakukan di gedung DPR RI dan di daerah akan dilakukan secara bergelombang dimulai dari 29 September - 1 Oktober 2020.