Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melaporkan hasil penangkapan ikan kepulauan mengalami peningkatan di tahun 2020. Tahun ini perikanan tangkap dari wilayah kepulauan naik 80 persen dibandingkan tahun lalu yang hanya berkontribusi 60 persen.
"Hasil tangkapan ikan tahun lalu 60 persen di perairan kepulauan. Komposisi tahun ini naik 80 persen," kata Peneliti Madya Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan Fayakun Satria dalam Konsultasi Publik terkait Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna, Cakalang, dan Tongkol (RPP TCT) secara virtual, Jakarta, Rabu (30/9).
Baca Juga
Dari data tersebut, Fayakun menilai nelayan Indonesia hanya berani menangkap ikan di kawasan kepulauan. Artinya, nelayan belum memaksimalkan penangkapan ikan di kawasan perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia.
Advertisement
Padahal, para nelayan Indonesia memiliki hak atas pemanfaatan kawasan ZEE. "Kalau dalam konteks pemanfaatan kita punya hak manfaatkan ZEE," kata dia.
Kondisi ini kata Fayakun tidak terlepas dari keterbatasan yang dimiliki para nelayan ikan tangkap. Dari ribuan kapal nelayan yang dimiliki nelayan, hanya ada beberapa kapal yang memiliki kapasitas di atas 30 GT.
Akibatnya, kawasan perairan ZEE belum dimanfaatkan secara maksimal oleh nelayan Indonesia. Sehingga hasil tangkapan ikan masih relatif kecil dibandingkan potensi yang ada.
"Posisi armada kita masih didominasi kapal kecil, makanya hasil ikan tangkap daerah masih kecil," kata Fayakun.
Untuk itu, dia menyarankan agar pemerintah melakukan peningkatan mutu terhadap sektor perikanan tangkap.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kemenhub: Sertifikasi Kapal Bisa Bantu Ekonomi Nelayan
Kementerian Perhubungan tengah gencar melakukan sosialisasi untuk sertifikasi kapal nelayan berbentuk pas kecil. Selain untuk pendataan, sertifikasi ini bisa membantu usaha para nelayan.
Direktur Perkapalan dan Kepelautan Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub Hermanta mengatakan, kapal nelayan dengan ukuran di bawah 7 GT juga merupakan aset jika memiliki sertifikasi dan bisa menjadi jaminan ke bank.
"Ini bisa jadi jaminan investasi. Ketika ketika memiliki surat-surat maka kapal ini secara sah diketahui pemerintah dan bisa menjadi jaminan ke bank. Sebelumnya kan tidak, kapal rusak hanya dibiarkan tenggelam," kata Hermanta seperti ditulis, Rabu (30/9/2020).
Saat ini, jumlah kapal terdaftar di atas 7 GT yang memiliki sertifikasi e-pas kecil mencapai 88.263 kapal, sementara yang di bawah 7 GT sebanyak 69.399 kapal.
Dikatakan Hermanta, jumlah kapal yang diverifikasi dan memiliki sertifikasi e-pas kecil setiap hari selalu bertambah mengingat Kemenhub setiap hari selalu proaktif mendatangi sejumlah daerah yang memiliki kapal nelayan, mulai dari Sabang hingga Merauke.
Hermanta menambahkan, nelayan yang memiliki kapal dengan sertifikasi juga akan lebih mudah dalam melakukan usaha. Khususnya bagi kapal nelayan yang mengekspor hasil tangkapan ikannya.
"Kapal-kapal yang melakukan ekspor dari kapal yang tidak memiliki surat akan ditolak di ketentuan internasional," tutur Hermanta.
Untuk mempermudahnya, Hermanta memastikan nelayan sama sekali tidak dipungut bayaran jika mengurus sertifikasi kapal tersebut.
Advertisement
Survei KNTI: 90 Persen Nelayan Tak Punya Nomor Registrasi Kapal
Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) melakukan survei kepada 2.068 nelayan di lima wilayah di Indonesia. Hasilnya menyebutkan 78 persen responden tidak memiliki kartu nelayan, dan 90 persen nelayan tidak memiliki nomor registrasi kapal.
“Kami melakukan survei yang dilakukan di lima wilayah di Indonesia, di Medan, Semarang, Gresik, Lombok, dan Aceh. Dengan total sampel 2.068 responden (di dalamnya nelayan, pelaku usaha perikanan, pemilik kapal, dan lainnya),” kata Ketua harian DPP KNTI Dani Setiawan, dalam Diskusi Publik Nasional tentang Pemulihan Ekonomi Nasional Nelayan, Senin (27/7/2020).
Adapun metode yang dilakukan dalam survei ini, yakni melalui tautan via whatsapp, wawancara melalui telepon, mengisi kuesioner yang dibagikan, dan wawancara secara langsung. Survey dilakukan mulai 14 Mei-14 Juni 2020.
Lanjut Dani, diperoleh hasil 78 persen responden mengaku tidak mempunyai kartu Kusuka atau kartu nelayan. Semarang merupakan lokasi dengan jumlah pemilik kartu kusuka paling tinggi mencapai 53 persen atau 319 nelayan yang memiliki kartu.
Sementara, Gresik mencapai 42 persen atau 82 punya kartu nelayan, Aceh 29 persen atau 60 nelayan, Lombok Timur 20 persen atau 39 nelayan, dan Medan hanya 6 persen atau 87 responden mempunyai kartu tersebut.
“Saya kira penting dicermati oleh Pemerintah, kalau kita lihat Pemerintah menggunakan basis data nelayan dengan basis kepemilikan kartu, kalau kartu ini banyak tapi nelayan kita belum punya, maka potensi intervensi atau program-program yang diberikan untuk nelayan itu akan besar nelayan-nelayan yang tidak menerima manfaat program Pemerintah,” ujarnya.
Karena kepemilikan kartu nelayan tadi masih rendah. Oleh karena itu ia meminta kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mendorong nelayan melalui dinas-dinas di wilayah agar bisa mendapatkan kartu nelayan.
Selain itu, ia menemukan mayoritas responden di lima wilayah itu, 90 persennya tidak memiliki nomor registrasi kapal. Untuk Medan 99 persen atau mencapai 1.391 responden tidak memiliki nomor registrasi kapal;
Lombok Timur 99 persen atau 197 responden; Gresik 99 persen atau 191 responden; Aceh 98 persen atau 206 responden. Sementara untuk Semarang hanya 60 persen atau 356 responden yang tidak punya nomor registrasi kapal.
“Ini juga satu isu yang ada di berbagai wilayah di Indonesia, terutama nelayan kecil mengaku sulit dan malas mengurus registrasi, karena tidak mengerti mengurusnya, ini suatu concern agar Pemerintah mempercepat proses registrasi kapal di kampung-kampung nelayan di Indonesia,” pungkasnya.