Sukses

Deflasi Berturut-turut jadi Tanda Daya Beli Masyarakat Belum Pulih

Deflasi yang terjadi berturut-turut tersebut menunjukan daya beli atau permintaan masyarakat belum pulih.

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat selama September 2020 terjadi deflasi sebesar 0,05 persen. Deflasi ini menjadi tiga kali berturut-turut sejak kuartal III-2020 atau selama periode Juli, Agustus, dan September.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Nathan Kacaribu mengatakan, deflasi yang terjadi berturut-turut tersebut menunjukan daya beli atau permintaan masyarakat belum pulih secepat yang dibayangkan. Sebab, selama ekonomi belum pulih inflasi bakal terus rendah.

"Sepanjang pertumbuhan ekonomi masih negatif, biasanya inflasi akan rendah dan dalam konteks ini 3 bulan berturut-turut deflasi kecil," kata dia dalam video conference di Jakarta, Kamis (1/10).

Menurutnya, kondisi deflasi berturut-turut tersebut juga menjadi lampu kuning bagi pemerintah. Artinya dari sisi permintaan masih juga belum cukup pulih di tingkat masyarakat.

Sebab itu, pemerintah terus mendorong berbagai program pemulihan ekonomi nasional (PEN) utamanya pada program perlindungan sosial. Bantuan sosial (Bansos) masih akan digulirkan sampai akhir tahun yang jumlahnya hampir mencapai Rp200 triliun lebih.

"Kemudian keluarkan program banpres produktif itu juga masih dalam konteks itu. Bentuknya hibah, bukan pinjaman, diberikan ke pengusaha ultra mikro. Selain gunakan pakaian dan makanan, juga utk dunia usaha," kata dia.

Sementara di sisi lain, untuk meningkatkan daya beli masyarakat pemerintah juga memberikan subsidi bantuan upah (SBU) untuk 15,7 juta orang yang terdaftar BPJamsostek. Itu dilakukan dalam konteks menaikan jumlah permintaan. "Ini harus dilakukan terus," singkatnya.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Gubernur BI: Tantangan Inflasi 2021 Lebih Berat

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengakui tantangan inflasi tahun 2021 diperkirakan lebih berat sesuai dengan asumsi dasar ekonomi makro yang mematok inflasi sebesar tiga persen.

“Inflasi tiga persen meskipun memang tantangan inflasi tahun depan lebih berat,” kata Perry Warjiyo dalam rapat kerja virtual membahas postur sementara Rancangan APBN 2021 bersama pemerintah dan Badan Anggaran DPR RI di Jakart, seperti dikutip dari Antara, Jumat (11/9/2020).

Tantangan inflasi lebih berat itu seiring dengan tema kebijakan fiskal dalam Rancangan APBN 2021 yakni percepatan pemulihan ekonomi imbas pandemi COVID-19.

Meski mengaku lebih berat, namun Perry Warjiyo mendukung asumsi dasar ekonomi makro itu, termasuk pertumbuhan ekonomi sesuai kesepakatan di Panja A yakni sebesar lima persen hingga nilai tukar rupiah sebesar Rp 14.600 per dolar AS.

“Nilai tukar 14.600 semua itu masih dalam risk kami, kami dukung untuk asumsi makro,” kata Perry Warjiyo.

Selama imbas pandemi COVID-19, tingkat inflasi tergolong rendah atau berada di bawah kisaran tiga persen.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi per Juni 2020 mencapai 0,18 persen, untuk inflasi tahun kalender selama semester pertama 2020 mencapai 1,09 persen dan secara tahunan sebesar 1,96 persen.

Sementara itu Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah berharap agar Bank Indonesia menjaga stabilitas sistem keuangan tahun 2021.

“Karena kami khawatir upaya yang dilakukan Gubernur BI akan menjadi sia-sia bagi kita semua, kalau tidak ada di antara kita koordinasi baik di semua lini,” ucapnya.

Ia juga mendorong Bank Indonesia mendukung stabilitas pasar Surat Berharga Negara (SBN) sebagai salah satu basis pembiayaan dalam APBN 2021.