Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka deflasi pada September 2020 sebesar 0,05 persen. Deflasi ini menjadi yang ketiga kalinya secara beruntun sepanjang kuartal III 2020, atau selama periode Juli, Agustus dan September.
Deflasi yang terjadi berturut-turut sebenarnya juga pernah terjadi pada 1999. Pada saat itu, deflasi terjadi selama 7 bulan beruntun sejak Maret hingga September.
Baca Juga
Namun, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menilai, deflasi bukanlah ancaman serius bagi ekonomi nasional di tengah pandemi Covid-19 saat ini.
Advertisement
Menurut Piter, ekonomi nasional bisa kembali mencapai level inflasi jika wabah virus corona dapat dituntaskan.
"Kita seharusnya tidak perlu khawatir dengan deflasinya. Tapi khawatir bila pandemi terus berlanjut. Kalau pandemi sudah berlalu deflasi juga akan berakhir dengan sendirinya," ujarnya kepada Liputan6.com, Sabtu (3/10/2020).
Piter menjelaskan, deflasi saat ini terjadi akibat melambatnya permintaan imbas dari lemahnya daya beli masyarakat di tengah pandemi. Oleh karenanya, ia mengimbau masyarakat tak perlu takut.
"Deflasi lebih baik daripada stagflasi, kntraksi ekonomi yang diikuti inflasi yang tinggi," kata dia.
Dia juga berkesimpulan bahwa deflasi tidak akan banyak berakibat terhadap kegiatan ekonomi nasional. Sebaliknya, deflasi merupakan buntut dari tingginya angka pengangguran saat ini.
"Jadi menurut saya deflasi tidak berdampak misalnya (kepada) pengangguran dan sebagainya. Deflasi adalah implikasi dari sudah terjadinya pengangguran," jelas dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Deflasi Berturut-turut jadi Tanda Daya Beli Masyarakat Belum Pulih
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat selama September 2020 terjadi deflasi sebesar 0,05 persen. Deflasi ini menjadi tiga kali berturut-turut sejak kuartal III-2020 atau selama periode Juli, Agustus, dan September.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Nathan Kacaribu mengatakan, deflasi yang terjadi berturut-turut tersebut menunjukan daya beli atau permintaan masyarakat belum pulih secepat yang dibayangkan. Sebab, selama ekonomi belum pulih inflasi bakal terus rendah.
"Sepanjang pertumbuhan ekonomi masih negatif, biasanya inflasi akan rendah dan dalam konteks ini 3 bulan berturut-turut deflasi kecil," kata dia dalam video conference di Jakarta, Kamis (1/10).
Menurutnya, kondisi deflasi berturut-turut tersebut juga menjadi lampu kuning bagi pemerintah. Artinya dari sisi permintaan masih juga belum cukup pulih di tingkat masyarakat.
Sebab itu, pemerintah terus mendorong berbagai program pemulihan ekonomi nasional (PEN) utamanya pada program perlindungan sosial. Bantuan sosial (Bansos) masih akan digulirkan sampai akhir tahun yang jumlahnya hampir mencapai Rp200 triliun lebih.
"Kemudian keluarkan program banpres produktif itu juga masih dalam konteks itu. Bentuknya hibah, bukan pinjaman, diberikan ke pengusaha ultra mikro. Selain gunakan pakaian dan makanan, juga utk dunia usaha," kata dia.
Sementara di sisi lain, untuk meningkatkan daya beli masyarakat pemerintah juga memberikan subsidi bantuan upah (SBU) untuk 15,7 juta orang yang terdaftar BPJamsostek. Itu dilakukan dalam konteks menaikan jumlah permintaan. "Ini harus dilakukan terus," singkatnya.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.comÂ
Advertisement