Sukses

Bali jadi Provinsi dengan Penurunan Pendapatan Paling Parah Akibat Covid-19

Bali jadi provinsi yang pelaku usahanya paling banyak mengalami penurunan pendapatan, yaitu dengan persentase 92,18 persen.

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Bali sebagai provinsi yang pelaku usahanya paling banyak mengalami penurunan pendapatan. Yakni dengan persentase 92,18 persen.

Berdasarkan hasil survey yang melibatkan 34.559 responden pelaku usaha ini, 82,85 persen perusahaan mengaku pendapatannya mengalami penurunan. Sementara 14,60 persen tetap, dan sisanya 2,55 persen mengakui pendapatannya meningkat.

“Provinsi Bali, DI Yogyakarta, Banten, dan DKI Jakarta adalah empat provinsi yang pelaku usahanya paling banyak mengalami penurunan pendapatan,” tulis BPS dalam publikasi Survei Dampak Covid-19 Terhadap Pelaku Usaha, Sabtu (3/10/2020).

Rinciannya, untuk DI Yogyakarta 89,69 persen perusahaan mengaku mengalami penurunan pendapatan. Banten, 86,92 persen, dan DKI Jakarta 86,55 persen.

“Dampak pandemi terhadap pendapatan perusahaan berbeda menurut skala perusahaan (mikro, kecil, menengah dan besar). Namun, lokasi usaha dan sektor usaha diduga juga mempengaruhi besarnya perubahan pendapatan,” kata BPS.

Adapun sektor usaha yang paling terdampak Covid-19 yakni akomodasi dan makan minum sebanyak 92,47 persen. Kemudian jasa lainnya 90,90 persen, serta transportasi dan pergudangan 90,34 persen.

“Secara umum, perusahaan baik UMK maupun UMB cenderung mengalami penurunan permintaan karena pelanggan/klien yang juga terdampak Covid-19,” jelas BPS.

Selain itu, kendala lain yang ditemukan adalah rekan bisnis yang juga terdampak. Sehingga rantai bisnis terganggu. Ini terjadi baik di skala Usaha Mikro Kecil (UMK) maupun Usaha Menengah Besar (UMB).

Lainnya, yakni adanya kendala terkait biaya operasional perusahaan. Dimana hak karyawan harus tetap dibayarkan, sementara cash flow perusahaan tengah terganggu. “Sekitar 53,17 persen UMB dan 62,21 persen UMK menghadapi kendala keuangan terkait pegawai dan operasional,” jelas BPS.

Sebagai informasi, Survei Dampak Covid-19 Terhadap Pelaku Usaha merupakan experimental statistics yang bertujuan untuk menyediakan indikator terkini (an early indicator) tentang pelaku usaha (usaha atau perusahaan) yang terdampak pandemi Covid-19.

Dilaksanakan pada 10-26 Juli 2020 dengan cakupan semua lapangan usaha kecuali pemerintahan, aktivitas rumah tangga pemberi kerja, dan badan internasional.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Survei BPS: PHK jadi Opsi Terakhir Perusahaan Demi Bertahan di Masa Pandemi

Sejumlah perusahaan masih tetap mempertahankan karyawan mereka di tengah hantaman pandemi covid-19. Sementara keputusan untuk melakukan PHK cenderung menjadi langkah terakhir yang diambil terhadap tenaga kerjanya.

“Ada berbagai upaya perusahaan untuk tetap mempertahankan tenaga kerjanya meskipun aktivitas perusahaan sangat terdampak oleh pandemi. Keputusan untuk melakukan PHK cenderung adalah langkah terakhir yang diambil terhadap tenaga kerjanya,” dikutip dari keterangan Badan Pusat Statistik (BPS), Sabtu (3/10/2020).

Menanggapi situasi saat ini, secara rinci, pengurangan jam kerja adalah langkah yang relatif lebih banyak diambil oleh perusahaan dibandingkan pilihan lainnya. Yakni dengan persentase 32,66 persen.

Keputusan terbanyak kedua yakni dirumahkan tanpa upah sebesar 17,06 persen, diberhentikan dalam jangka waktu singkat 12,83 persen.

Kemudian dirumahkan dengan upah sebagian menjadi opsi paling banyak diambil keempat. Serta 3,69 persen perusahaan memilih merumahkan karyawan dengan upah yang dibayarkan penuh.

“Optimisme bahwa pandemi akan segera berakhir cenderung membuat perusahaan tidak mengambil keputusan PHK permanen. Memberhentikan pekerja dalam waktu singkat adalah pilihan yang relatif lebih baik,” tulis BPS.

3 dari 3 halaman

Ekonom: Gelombang PHK Terus Berlanjut Meski Pandemi Covid-19 Usai

Ekonom INDEF Aviliani, menilai gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tidak hanya terjadi selama pandemi covid-19, melainkan ke depannya PHK akan tetap terjadi dampak dari perubahan perilaku masyarakat pasca covid-19.

“Nah kalau kita lihat sekarang PHK sudah ada tapi memang belum terlalu signifikan atau besar-besaran tetapi kecil-kecilan, namun ke depan menurut saya PHK itu bukan hanya terjadi karena pandemi aja tapi karena behavior masyarakat kita yang berubah menjadi permanen,” kata Aviliani dalam The 2nd Series Industry Roundtable (Episode 8) Banking Industry Perspective, Selasa (29/9/2020).

Menurutnya, pandemi covid-19 ini memaksa kita untuk mempercepat digitalisasi, yang semula perusahaan berencana mengurangi pegawai dalam 5 tahun lagi, namun sekarang dipercepat sehingga PHK tidak bisa dielakkan.

Lantaran Oktober nanti, Aviliani menilai akan banyak perusahaan yang meminta restrukturisasi atau bantuan. Karena daya tahan perusahaan hanya mampu bertahan selama 6-1 tahun saja dalam menghadapi krisis,  mau tidak mau Ketika perusahaan-perusahaan sudah mulai tumbang maka akan banyak terjadinya PHK.

“Kalau perusahaan itu kreatif sebenarnya dia bisa memanfaatkan ini sebagai peluang, saya bilang the power of kepepet punya ide untuk survive, kalau yang kayak gitu perusahaan ini tidak akan PHK justru mereka bisa mengambil keuntungan di tengah pandemi,” ujarnya.

Namun sebaliknya, bagi perusahaan yang tidak bisa kreatif dan tidak bisa melakukan apapun, atau mungkin perusahaan hanya bisa melakukan cost efficiency maka akan banyak yang kena PHK.

“Nah ini harus diantisipasi oleh masyarakat maupun pemerintah karena ini akan terjadi (PHK) mau tidak mau,” pungkasnya.