Liputan6.com, Jakarta - Salah satu cita-cita dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah menjadikan Indonesia sebagai porot maritim. Namun untuk mewujudkan hal tersebut tidak mudah. Industri maritim Indonesia masih jauh dari kata kuat.Â
Direktur Utama PT Industri Kapal Indonesia Diana Rosa mengatakan, industri maritim terutama perkapalan nasional memiliki tantangan yang sangat berat. Selain harus bersaing dengan industri maritim global, pandemi covid-19 ini juga menambah berat kondisi industri perkapalan nasional.Â
Baca Juga
Namun ternyata tantangan tersebut tidak membuat Industri kapal Indonesia (IKI) yang merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di sektor galangan kapal ini menyerah. Justru hal tersebut menjadi cambuk untuk terus berkembang.
Advertisement
IKI pun terus mencoba berkembang dengan menjalin kerjasama dengan BUMN lain. Seperti apa langkah-langkah yang dijalankan oleh Diana Rosa untuk mengembangkan IKi secara khusus dan industri perkapalan nasional secara umum, berikut petikan wawancaranya dengan Liputan6.com:Â
Sejauh ini, bagaimana perkembangan industri galangan kapal di Indonesia?
Industri kapal di Indonesia ini memang cukup berat tantangannya. Namun demikian, sebenarnya peluang sangat besar untuk kami maju. Karena kita kan di negara maritim, dimana negara kita terdiri dari kurang lebih 17 ribu pulau.
Kita butuh kapal-kapal untuk connecting tiap pulau. Sehingga peluang sangat besar untuk kami eksis di dunia maritim.
Kalau pun kita berat setiap tahunnya, itu pasti ada galangan-galangan kapal swasta yang muncul. Meskipun itu galangan kecil, istilahnya galangan kaki lima.
Artinya kalau bisnis ini tidak bagus, tidak bisa maju, otomatis tidak akan tumbuh galangan-galangan kapal kecil di Indonesia.
Ini sudah mulai menjamur sampai ke pulau-pulau terkecil di Indonesia. Sehingga kami sebagai galangan kapal BUMN sangat yakin untuk prospek ke depan terhadap bisnis galangan kapal di Indonesia.
Industri kapal Indonesia (IKI) sudah bisa memproduksi kapal jenis apa saja?
Kita dalam memproduksi kapal tergantung dengan kapasitas, fasilitas produksi kami. Kebetulan kalau di industri kapal Indonesia itu sebenarnya kami sampai saat ini memiliki fasilitas doc itu hingga 17.500 debwit (?), tanker 17.500 jetwig.
Tapi memang itu masih kami menjajaki, secara fasilitas kami masih ada. Cuman kalau yang biasa kami lakukan, kami kerjakan untuk pembangunan kapal, kami masih fokus di kapal Roro, sampai 1.500 jetwig, kapal ikan seperti itu.
Di galangan kapal lain, misalkan doc perkapalan Surabaya, itu bisa tanker 6.500. di sana spesialis tanker. Kalau di saudara kami yaitu doc Koja Bahari, itu sampai saat ini dia bisa untuk 30 ribu, namun memang belum pernah membuat sampai 30 ribu.
Tapi secara fasilitas sudah upgrade per 2020, sekitar bulan lalu. Tapi kita masih perlu memulai untuk didekati. Kalau di IKI sampai 17.500, di DPS sampai 6.500.
Terkait jenis kapal, itu kami bisa dari patkut, kapal Roro, kapal ikan, kapal tanker. Tapi kalau yang kapal-kapal pertahanan, itu adanya di PT PAL Indonesia.
Berapa banyak IKI bisa memprodusi kapal atau maintenance kapal setiap tahun? Atau tergantung pesanan?
Untuk pembangunan kapal itu selalu by order. Tapi secara kapasitas untuk galangan kita sudah siapkan. Misalnya di IKI, kita bisa membangun 7 kapal tapi itu kelas Roro 1.500, Roro 500. Tapi kalau tanker 17.500, itu cuman bisa satu.
Kalau tanker 6.500 kita bisa satu ditambah dengan patkut, Roro. Kapasitasnya sudah disiapkan. Tapi tiap tahunnya memang tergantung order.
Â
Salah satu masalah industri galangan kapal nasional adalah bahan baku, apakah IKI juga begitu?
Memang tantangan kami dalam membangun kapal sampai detik ini untuk material atau equipment, hampir 70 persen itu impor. Namun perlahan-lahan dengan kebijakan pemerintah, dimana kita harus meningkatkan TKDN, kita juga berusaha.
Kami kebetulan sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), kami juga mendukung kebijakan pemerintah sehingga kami mencoba meningkatkan TKDN kita dalam pembangunan kapal. Untuk tahun ini, IKI sendiri targetnya 40 persen TKDN. Di antaranya dengan kerjasama atau sinergi BUMN juga.
Misalnya main engine, motor ban, itu impor semua. Namun saat ini, BBI salah satu BUMN itu mulai KSO dengan Busan Korea (Selatan), untuk memproduksi main engine maupun accelory engine atau motor ban.
Begitu pun Barata Indonesia sudah bisa membuat kemudi. Ini adalah memang komitmen kami sebagai BUMN untuk tingkatkan TKDN.
Apakah produk dalam negeri bisa bersaing dengan luar, misal China dan Korea?
Memang kembali lagi, dengan materia impor otomatis HPP, harga penjualan kami akan lebih besar. Itu kendalanya. Belum lagi bea masuk. Itu memang kendala kami yang perlu bantuan atau kebijakan dari pemerintah.
Tapi dari sisi kualitas, dari sisi teknologi, teknis, SDM, insya Allah kami mampu.
Artinya industri galangan kapal nasional bisa bersaing, hanya terkendala masalah bahan baku impor sehingga ongkos produksi mahal ya?
Iya. Produksi kami harga kapal kami mahal. Belum lagi waktu. Kita waktu engine, harganya bisa 40 persen dari harga kapal. Belum lagi untuk produksinya engine, itu bisa sampai 8-9 bulan. Sehingga kami (harus) menunggu selama itu.
Karena itu banyak pelayaran-pelayaran lebih memilih di luar negeri, membeli atau membangun kapalnya. Itu tantangan buat kami, galangan kapal Indonesia.
Â
Advertisement
Stimulus apa yang dibutuhkan industri galangan nasional?
Dari 2016 itu sudah mulai pemerintah untuk dorong berkembangnya industri perkapalan Indonesia. Namun memang karena namanya kebijakan itu tidak hanya cukup di satu institusi, kementerian, namun harus ada koordinasi. Karena begitu dievaluasi, ternyata belum efisien belum efektif.
Salah satunya adalah masalah bea masuk. Dulu sudah ada sih satu kebijakan pemerintah diberikan, namun kita harus daftar dulu. Sementara kita belum tentu dalam setahun akan dapat order untuk pembangunan kapal. Itu masalah bea masuk.
Terus yang kedua, suku bunga yang dikenakan itu terlalu tinggi di Indonesia. Itu adalah item-item kenapa harga kapal di galangan nasional ini mahal. Terus untuk jangka waktu pengembalian itu juga luar biasa. Kita harus cepat.
Kalau dipelajari di luar negeri misal di China, di Korea (Selatan), itu banyak kebijakan untuk menghidupkan bisnis lokal. Sehingga kami berharap memang sudah ada dari pemerintah, tapi bagaimana yang lebih efisien dan efektif.
Tadi bea masuk, terus kemudahan kami untuk modal kerjanya dari bank. Katakanlah dari bank Himbara, yaitu terkait panjang jangka waktu, sama suku bunga. Itu memberatkan kita dalam penentuan harga kapal. Di sana kita tidak bisa bersaing dengan kapal-kapal luar.
Seandainya mendapat stimulus bea masuk di 0 persen dan suku bunga yang murah, kemungkinan bisa ya bersaing dengan luar?
Ya pasti. Dan sebelumnya memang banyak juga organisasi yang fokus memikirkan bagaimana bisnis di galangan kapal ini bisa maju di negara maritim. Seperti Perindo, INSA, itu fokus. Namun kami paham juga pemerintah mungkin masih banyak yang dipikirkan. Di saat pemerintah sudah fokus, ini ada Covid-19.
Selama ini customer IKI kebanyakan dari sektor apa?
Kalau customer kami 60 persen dari BUMN juga. Yaitu PT Pelni, PT ASDP, PT Pelindo IV, karena Pelindo IV yang lebih dekat dengan lokasi IKI. Kemudian dari Kementerian Perhubungan, laut ataupun darat, dan (juga) swasta. Tapi kalau yang dari BUMN, dari instansi pemerintah, itu hampir 60 persen.
KKP juga banyak?
Ya, KPLP. Ada kapal patroli, kapal cepat, alumunium. Untuk saat ini kami membangun satu kapal cepat KPLP dari alumunium.
Â
Â
Di tengah Covid-19 ini, ada stimulus yang bisa dipergunakan oleh IKI tidak?
Kebetulan yang sedang kami pakai adalah insentif atau perpanjangan masalah cicilan bank, insentif atau masalah cicilan pembayaran bank. Itu kami dapat kemudahan dari Menteri BUMN, dari Menteri Keuangan, itu memang sudah jadi kebijakannya. Kami diberi (berbagai) kemudahan.
Belum lagi masalah pajak. Itu kita dikasih kemudahan, meskipun dalam covid ini yang sangat berpengaruh pada kami adalah payment customer. Seluruh payment, customer minta perpanjangan juga.
Dengan Covid-19 ini mengganggu produksi dari PT IKI tidak?
Kalau mengganggu secara signifikan tidak, namun menambah prosedur. Seperti kalau ada kapal Pelni masuk untuk maintenance, itu kami harus turunkan seluruh ABK (Anak Buah Kapal) kita mengadakan pemeriksaan rapid test, setelah itu kita disinfektan seluruh ruang kapal, baru kami bisa mengerjakan.
Jadi tidak signifikan, memang butuh waktu, tambahan waktu.
Jadi cost juga bertambah ya?
Iya memang. Satu kapal itu kalau disinfektan sekitar Rp 2 juta. Tapi kalau rapid test customer kami juga paham dan menyadari itu butuh, sehingga itu tanggung jawab pelayaran.
Dengan kondisi setelah ini (Covid-19), tantangan cukup berat, setelah itu industri pelayaran atau galangan kapal ke depannya seperti apa?
Kembali lagi seperti tadi saya sampaikan, kita negara maritim. Yang namanya kapal penumpang, dari peraturan itu harus tiap tahun naik dok. Itu merupakan ketentuan, sehingga tidak mungkin kapal-kapal itu tidak beroperasi dengan kondisi naik dok tiap tahunnya.
Jadi kami masih optimis, hanya bagaimana caranya kita membutuhkan stimulus-stimulus seperti yang sudah diberikan kemudahan. Mungkin penambahan waktu pembayaran modal kerja dari bank-bank yang ber-partner dengan kami.
Memang kondisi Covid-19 ini mungkin untuk jumlah kapal hanya turun di 10 persen. Mereka tetap harus repair. Namun untuk payment-nya yang kita agak panjang. Biasanya hanya sebulan lunas, ini bisa 90 hari permohonannya.
Berarti cashflow PT IKI banyak terganggu ya?
Ya memang agak berat, tapi kami juga diimbangi oleh (persyaratan) bank-bank tersebut tidak terlalu ketat juga.
Advertisement