Sukses

Selamatkan Industri Mebel, Pemerintah Diminta Tinjau Regulasi Bahan Baku

Kalangan industri mebel dan kerajinan meminta kementerian terkait menghilangkan ego sektoral agar tidak menekan kelangsungan hidup sektor industri ini.

Liputan6.com, Jakarta - Kalangan industri mebel dan kerajinan meminta kementerian terkait menghilangkan ego sektoral agar tidak menekan kelangsungan hidup sektor industri ini.

Kewenangan yang dimiliki harusnya disinergikan, menjadi kekuatan meningkatkan nilai tambah industri nasional, bukan menjadi penghambat di tengah kerja keras Presiden Jokowi memulihkan ekonomi nasional di era pandemi covid-19.

Terkait dengan masalah yang tengah dihadapi, pelaku industri mebel nasional Presiden Direktur PT Integra Indo Cabinet Tbk Halim Rusli mengatakan, pemerintah harus meninjau kembali regulasi yang menghambat seperti aturan impor bahan baku penolong.

Pasalnya, kapasitas dan kemampuan industri bahan baku penolong dalam negeri belum mampu mendukung kebutuhan industri mebel dan kerajinan. Dampaknya, tegas Halim Rusli, sangat merugikan.

“Bukan hanya membuat pelaku industri kelimpungan memenuhi permintaan pasar domestik dan ekspor tepat waktu, regulasi yang ada juga menimbulkan konsekuensi kenaikan biaya produksi sehingga mengerus daya saing,” kata Halim dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (5/10/2020).

Padahal, peluang Industri Mebel dan Kerajinan sangat besar untuk meraup nilai ekspor hingga USD 5 miliar. Sejumlah pelaku industri ini, telah mampu memenuhi permintaan merek dunia dengan volume ekspor masing-masing berkisar 300-700 petikemas per bulan.

“Regulasi impor tersebut membuat kami terpaksa kesana-kemari mencarinya seperti seperti baja, kain, dan keramik yang sesuai dengan kualitas yang dibutuhkan. Ironinya, bahan baku ini tidak dibuat oleh industri dalam negeri. Kalaupun ada, Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN)-nya rendah dan secara kuantitas dan kualitas tidak memenuhi kriteria. Volume produksi rendah, desain yang tidak adaptif dengan pasar, dan harganya juga tinggi karena masih menggunakan bahan baku impor,” tegas Halim

Masalah Biaya SVLK

Persoalan lain, menurut Direktur PT Multi Manao Indonesia Budianto adalah biaya sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) yang dinilai tinggi. Di satu sisi, aturan sertifikasi ini positif menghilangkan stigma buruk bahwa industri kayu olahan di Indonesia merupakan produsen perusak hutan, pengguna kayu illegal.

Dengan adanya SVL, pelaku industri juga tidak lagi dikenai persyaratan sertifikasi oleh importir dan memiliki kredibilitas dan akuntabilitas di pasar ekspor.

Masalahnya, biaya untuk memperoleh SVLK ini mahal. Sebagai gambaran, untuk eksportir skala UMKM, setidaknya harus mengeluarkan biaya Rp 30 juta per tahun dan ditambah Rp 110.000 per lembar invoice. Selain itu, UMKM mebel juga kesulitan memenuhi persyaratan Tata Usaha Kayu (TUK).

“Untuk mengatasi seluruh persoalan itu, saya mengusulkan agar pemerintah membantu dengan menerapkan pelaksanaan audit tahunan dengan melakukan audit komunal. Mempermudah perizinan dan menghapus persyaratan legalitas perizinanTUK. Mempermudah persyaratan dokumen impor produk bahan baku penolong,” ujar Budianto.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Wacana Ekspor Log

Dalam kesempatan itu, Ketua Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) Abdul Sobur menyatakan saat ini muncul wacana pembukaan kembali kebijakan ekspor kayu gelondongan atau log. Wacana ini diinisiasitif oleh Komunitas Rimbawan Nusantara (KRN) dengan alasan harga jual yang lebih tinggi di pasar dunia.

Namun, menurut Abdul Sobur, wacana KRN itu sama sekali tidak mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap perekonomian nasional secara keseluruhan. Ekspor log akan membuat industri mebel dan kerajinan kesulitan untuk mendapatkan bahan baku, ekonomi nasional juga akan kehilangan nilai tambah dari sektor industri hilir kehutanan. Disamping itu, menurut Aron Jongkey salah satu pelaku industri mebel, data KRN tidak sesuai dengan realita lapangan.

Menurut KRN, harga log di dalam negeri hanya Rp 1,2 juta per m3, sementara di pasar ekspor mencapai US$ 250 atau setara Rp 3,5 juta. Kenyataannya, harga log dalam negeri bervariasi. Harga log kayu karet misalnya berada di kisaran Rp. 700.000, sementara mahoni rentangnya antara Rp 1,2 juta sampai dengan Rp 2,5 juta.

“Alasan yang disampaikan KRN tidak tepat, dan tidak melihat kepentingan perekonomian jangka panjang yang jauh lebih besar, kelangsungan industri pengolahan kayu, serta penyelamatan lingkungan,” kata Aron.

Himki meminta DPR mengingatkan Kementerian LHK untuk tidak meneruskan wacana ekspor log. Untuk menjaga kepentinga industry dalam negeri, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan juga haruscmenolak rencana ini.

“Persoalan ini sangat serius, menyangkut kelangsungan pasokan bahan baku untuk industri hilir sektor kehutanan. Kelangsungan industri sangat strategis, bukan saja akan menghidupi jutaan pekerja, sekaligus memperkuat ekonomi berbasis budaya dan bahan baku lokal,” kata Aron.

 

3 dari 3 halaman

Lakukan Pembahasan

Menanggapi keluhan tersebut, Wakil Ketua DPR Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan Rachmat Gobel menegaskan, pihaknya bersama seluruh anggota DPR di Komisi terkait akan melakukan pembahasan serius. Ia melihat, potensi industri berbasis kayu olahan ini sangat besar.

Bukan saja untuk meraup devisa, juga peluang menyelamatkan lapangan kerja dan industri berbasis budaya yang berkualitas. Apalagi, tambah Rachmat, Himki berkomitmen meningkatkan ekspor mebel dan kerajinan hingga 100 % dalam lima tahun mendatang.

Peluang ini tidak boleh disia-siakan, dan pemerintah, DPR, serta pelaku industri harus bersinergi membajak momentum peluang ekonomi pasca krisis pademi Covid-19.

“Insyaallah, Selasa depan saya akan mengajak konsultasi angota DPR bersama tiga kementerian terkait melihat segala aspek masalah yang bisa diselesaikan. Kita harus menghilangkan berbagai kendala regulasi, minimal meninjau ulang hal-hal yang menghambat. Apa yang bisa dioptimalkan dari kekuatan industri yang berbasis bahan baku local. Jangan sampai keunggulan kompetitif maupun komparatif itu justru untuk memperkuat produsen Negara pesaing,” kata Rachmat Gobel.