Sukses

Buruh yang Tergabung dalam Gekanas Tolak Pengesahan RUU Cipta Kerja

Tanggal 6 sampai dengan 8 Oktober 2020 kaum buruh siap melakukan aksi nasional untuk menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

Liputan6.com, Jakarta - Kelompok buruh yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Kesejahteraan Nasional (Gekanas) bersikukuh tetap menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang rencanakan akan disahkan DPR pada hari ini. 

Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP TSK SPSI yang juga Presedium Aliansi Gekanas Roy Jinto Ferianto, upaya penghalangan aksi buruh oleh aparat kepolisian dengan acara mencegat rombongan buruh yang akan berangkat ke DPR RI, memblokade kawasan - kawasan industri di Bekasi, Tangerang dan Jakarta.

“Tanggal 6 sampai dengan 8 Oktober 2020 kaum buruh siap melakukan aksi nasional secara serentak di seluruh kabupaten dan kota se-Indonesia, untuk menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Aksi ini upaya terakhir kaum buruh untuk menjegal agar Omnibus law RUU Cipta Kerja ini tidak disahkan,” kata Roy dalam keterangan resmi, Senin (5/10/2020). 

Roy menjelaskan aksi kelompok buruh dilaksanakan secara konstitusional sesuai dengan UUD 1945, UU Nomor 9 Tahun 1998 dan pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2000. Dalam melaksanakan aksinya, buruh tetap melaksanakan protokol kesehatan Covid-19 dengan memakai masker, bawa hand sanitizer, jaga jarak dan lainnya, serta akan berjalan secara tertib dan damai.

Roy menyebutkan RUU Cipta Kerja bukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan melindungi buruh. Malah sebaliknya ucap Roy, yaitu hanya untuk kepentingan kelompok pemodal.

“Oleh karena itu, sikap kami kelompok buruh jelas menolak Omnibus Law Cipta Kerja dan meminta klaster ketenagakerjaan dikeluarkan dan juga menolak pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja diparipurnakan,” kata Roy.

Roy menuturkan kesepakatan Panja DPR RI dan pemerintah, khususnya klaster ketenagakerjaan sangat merugikan kelompok buruh. Antara lain dengan dibebaskannya sistem kerja PKWT dan outsourcing tanpa ada batasan jenis pekerjaan dan waktu.

Hal itu terang Roy, membuat buruh tidak ada kepastian pekerjaan. Selain itu dihapusnya upah minimum sektoral, diberlakukannya upah per jam ungkap Roy, mengakibatkan tidak adanya kepastian pendapatan, PHK dipermudah, pesongon dikurangi, hak cuti dihapus sangat merugikan kelompoknya.

“Dalam situasi pandemi seperti ini, kami menilai Omnibus Law RUU Cipta Kerja tidak akan menjawab persoalan ekonomi maupun investasi. Karena dengan terus meningkatnya angka positif COVID - 19 di Indonesia, investor pun tidak akan masuk ke Indonesia,” ungkap Roy.

Seharusnya ucap Roy, pemerintah dan DPR RI fokus pada penanganan COVID - 19 sehingga dunia internasional percaya kepada Indonesia mampu menangani COVID - 19. Namun faktanya lanjut Roy, justru sebaliknya malah mempercepat pembahasan dan pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Kecewa

Buruh beranggapan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja di tingkat pertama pada tanggal 3 Oktober 2020 sudah ditandai dengan pandangan mini fraksi. Hanya dua fraksi yang menolak yaitu Demokrat dan PKS soal pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja diteruskan ke tingkat kedua yaitu paripurna.

“Sedangkan tujuh fraksi lainnya setuju dilanjutkan ke paripurna, keputusan Baleg dan pemerintah tersebut sangat membuat kelompok buruh kecewa dan marah kepada DPR RI. Karena DPR RI tidak mencerminkan sebagai wakil rakyat, dimana rakyat khususnya kelompok buruh jelas menolak,” tutur Roy.

Tetapi pembahasan terus dilakukan baik pada hari libur sampai tengah malam. Hal ini mengindikasikan bahwa RUU Cipta Kerja sedang kejar tayang pembahasan terus dilakukan di tengah pandemi COVID - 19.