Sukses

IAI: Pengaturan Pajak Selama Pandemi Covid-19 Harus jadi Perhatian

Digitalisasi yang pesat juga mempengaruhi aktivitas transfer perusahaan multinasional dengan sistem pajak yang berbeda di setiap negara.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Dewan Pengurus Nasional Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Mardiasmo mengatakan digitalisasi telah menciptakan kerumitan bagi sektor bisnis untuk menentukan hak perpajakan terhadap pendapatan hasil transaksi antar negara.

“Digitalisasi yang telah menciptakan kerumitan bagi sektor bisnis, ini tidak mudah. Untuk menentukan di mana penciptaan nilai ditambahkan ke barang atau jasa secara konsisten. Apalagi pada kenyataannya banyak perusahaan yang beroperasi lintas negara mencoba memanfaatkan wilayah abu-abu,” kata Mardiasmo dalam Sambutannya di Virtual International Tax Conference 2020 “Current Updates of International Tax Development”, Selasa (6/10/2020).

Selain itu, menurutnya digitalisasi yang pesat juga mempengaruhi aktivitas transfer perusahaan multinasional dengan sistem pajak yang berbeda di setiap negara.

Sehingga berpotensi untuk meningkatkan perselisihan. Oleh karena itu kepastian pajak sangatlah penting.

Lanjutnya, tantangan lain di masa pandemi covid-19 ini semua negara memiliki tantangan yang sama yakni penanganan dampak pandemi covid-19 terhadap Kesehatan dan ekonomi.  

Maka dari itu, semua negara termasuk Indonesia telah mengerahkan kebijakan fiskal untuk menangani dampak covid-19 ini. Kendati begitu, pengaturan pajak di masa pandemi seiring meningkatnya penggunaan digitalisasi di sektor bisnis harus tetap teratur.

“Langkah-langkah fiskal telah dimainkan dan akan terus memainkan peran penting karena negara-negara tidak mau terus-menerus melalui krisis covid-19,” pungkasnya. 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Penerimaan Pajak Diprediksi Kurang Rp 500 Triliun dari Target APBN 2020

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasi Nazara memproyeksikan Shortfall atau selisih penerimaan pajak dari target APBN 2020 bakal mencapai Rp 500 triliun. 

"Penerimaan pajak kita perkirakan Rp 500 riliun tidak akan terkumpul. Artinya kegiatan ekonominya turun dan pemerintah juga memberikan isentif-insentif pajak. Rp 500 triliun kita perkirakan dari anggaran tahun ini tidak akan kita terima," tuturnya dalam sesi teleconference, Selasa (6/10/2020).

Namun di sisi lain, Suahasi mengungkapkan, pemerintah tidak bisa menurunkan belanja negara. Menurut dia, hal tersebut harus di-support dan dinaikan untuk menunjang program pemulihan ekonomi nasional, sehingga postur belanja di APBN meningkat sekitar Rp 200 triliun.

"Kita lakukan defisit APBN menjadi 6,3 persen dari PDB atau sekitar Rp 1.000 triliun. Itu semua ditetapkan dalam bentuk UU Nomor 2 Tahun 2020," jelas dia.

Dengan kondisi defisit seperti ini, pemerintah disebutnya bakal fokus membantu perekonomian sehingga negara bisa lanjutkan proses pemulihan. Langkah ini dilakukan guna mengobati kontraksi ekonomi di kuartal II 2020 yang negatif 5,32 persen. 

"Kita berharap di kuartal III ada pemulihan ekonomi. Mungkin angkanya masih kontraksi, tapi lebih rendah. Kita tunggu angka dari BPS (Badan Pusat Statistik). Sampai kuartal IV pemerintah terus support dari perekonomian," ungkapnya.

Suahasil menceritakan, pertumbuhan ekonomi negatif di kuartal kedua kemarin terjadi lantaran situasi pandemi yang sangat buruk pada April-Mei 2020. Situasinya perlahan mulai berubah ketika mulai ada kegiatan ekonomi di periode Juni-Juli 2020.

"Kegiatan ekonomi mulai meningkat pada bulan Agustus, meski di satu dua titik ada peningkatan Covid-19, tapi ini bagian dari pemulihan. Dengan pemulihan kita berharap di kuartal III ada perbaikan dari pertumbuhan ekonomi," ujar Suahasil.