Liputan6.com, Jakarta - Belakangan, masyarakat menyuarakan ketidakpuasannya terhadap kebijakan dan regulasi pemerintah yang dianggap kontroversial dan tidak pro-rakyat. Mereka menganggap, undang-undang yang disusun pemerintah beserta DPR hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja, utamanya para pemilik modal di Tanah Air.
Para pebisnis dinilai sengaja menduduki kursi parlemen agar memiliki pengaruh dalam penyusunan kebijakan bersama pemerintah. Benarkah faktanya demikian?
Baca Juga
Penelitian Marepus Corner bertajuk 'Peta Pebisnis di Parlemen: Potret Oligarki di Indonesia' menemukan, sebanyak 55 persen anggota DPR merupakan pengusaha yang tersebar di berbagai sektor.
Advertisement
"Data yang kami ambil sesuai pergantian waktu yang baru-baru ini kami lakukan, total pebisnis meningkat jadi 318 orang, 5 sampai 6 orang dari 10 anggota DPR adalah pebisnis," ujar Peneliti P2P LIPI sekaligus Pegiat Marepus Corner Defbry Margiansyah, Jumat (9/10/2020).
Sebanyak 26 persen pebisnis tersebut merupakan pemilik atau owner perusahaan, dan 25 persen menjabat sebagai direktur atau wakil direktur. Kemudian, 36 persennya masih aktif dalam melakukan kegiatan berusaha.
Persentase pebisnis terbanyak berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yaitu 23 persen, diikuti Partai Gerindra sebesar 16 persen dan Partai Golkar sebesar 16 persen.
"Dari 11 komisi DPR, kita lihat 8 komisi memiliki anggota dengan jumlah pebisnis lebih banyak daripada jumlah non pebisnisnya," ungkapnya.
Dia melanjutkan, secara sektoral, para pebisnis tersebut berkecimpung paling banyak di sektor energi dan migas (15 persen) serta teknologi, industri, manufaktur dan ritel (15 persen). Sisanya, tersebar di sektor developer dan kontraktor (12 persen), sektor perkebunan, perikanan dan peternakan (11 persen) hingga keuangan dan perbankan (6 persen).
"Melihat komposisi itu bayang-bayang konflik kepentingan agak susah kita hindari," jelasnya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Potensi konflik Kepentingan
Dalam argumentasi awal, Defbry menyatakan potensi konflik kepentingan ini semakin tinggi dengan adanya keterkaitan antara bidang usaha yang dimiliki dan penempatan komisi pebisnis di DPR.
"Hal ini mengindikasikan kerentanan agenda kerja komisi terhadap bisnis tertentu, terlebih absennya aturan yang mengatur penempatan anggota di komisi," katanya.
Dominasi pebisnis di DPR juga berpotensi mengukuhkan konsentrasi kekuasaan oligarki dalam pembuatan kebijakan, yang ujungnya membuat agenda politik demokratis berbasis nilai semakin sulit diperjuangkan di parlemen.
"Produk kebijakannya pun menitiberatkan pada kepentingan ekonomi bisnis dan cenderung mengabaikan aspek keadilan sosial, lingkungan, termasuk partisipasi publik yang inklusif," katanya.
Advertisement