Sukses

Pengusaha Sebut Aksi Demo Buruh Tidak Produktif

Apindo meminta kaum buruh agar tidak turun ke jalan untuk menolak pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani meminta kaum buruh agar tidak turun ke jalan untuk menolak pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja oleh DPR RI. Sebab, aksi unjuk rasa dinilai tidak menguntungkan bagi kepentingan kaum buruh sendiri.

"Tidak perlu (buruh) bereaksi di jalan, karena memang akan menimbukan hal-hal yang kontraproduktif," ujar dia dalam webinar bertajuk UU Cipta Kerja (Klaster Ketenagakerjaan): Implikasinya Bagi Pekerja dan Dunia Usaha, Jumat (9/10/2020).

Untuk itu, Bos Apindo mengimbau sebaiknya penyampaian aspirasi oleh buruh disalurkan melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Menurutnya hal itu juga sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia.

"Karena apapun itu, unjuk rasa di jalan tidak akan mengubah proses legislasi yang berjalan. Sementara yang bisa mengubah adalah gugatan di Mahkamah Konstitusi," tutupnya.

Hal senada juga diungkapkan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan, Donny Gahral mengimbau buruh dan masyarakat yang tidak puas disahkan Undang-undang Cipta Kerja mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurut Donny, Undang-undang Cipta Kerja sebelum disahkan menjadi peraturan sudah melalui proses yang panjang dan berkekuatan politik di DPR serta pemerintah untuk merumuskan terbaik.

"Apabila ada pihak yang tidak puas saya kira ada mekanisme konstitusional namanya judicial review bisa diajukan ke Mahkamah Konstitusi, bilamana dirasakan itu tidak memuaskan," kata Donny, Rabu (7/10).

"Apabila ada yang tidak puas, ya jalur konstitusional tersedia, silakan saja dan pemerintah sudah bersiap akan hal itu," tambah Donny.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Usai Mogok Nasional, Buruh Bakal Gugat UU Cipta Kerja

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersiap membawa gugatan mereka mengenai Omnibus Law UU Cipta Kerja ke ranah hukum. Hal ini dilakukan setelah mogok nasional buruh 3 hari bersama 32 federasi berakhir pada 8 Oktober 2020 kemarin.

Presiden KSPI Said Iqbal menyatakan, pihaknya akan mempertimbangkan jalur hukum untuk memperjuangkan hak buruh dan melakukan beberapa tindakan.

"Langkah lebih lanjut yang akan diambil secara konstitusional antara lain membuat gugatan melalui jalur hukum untuk membatalkan Omnibus Law UU Cipta Kerja, melanjutkan gerakan aksi secara konstitusional, serta melakukan kampanye kepada masyarakat nasional maupun internasional tentang alasan mengapa buruh menolak omnibus law khususnya klaster ketenagakerjaan," ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (9/10/2020).

Said Iqbal juga memberi tanggapan soal poin-poin keberatan buruh atas Omnibus Law UU Cipta Kerja yang dianggap hoax. Dirinya membeberkan penjelasan singkat dan menegaskan bahwa hal itu benar adanya.

Misalnya saja, soal UMP, UMK, UMSK, dan UMSP. Saiq Iqbal menyatakan, Upah Minimum Sektoral (UMSP dan UMSK) memang dihapus, Sedangkan UMK ada persyaratan.

"Dihapusnya UMSK dan UMSP merupakan bentuk ketidakadilan. Sebab sektor otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai upah minimumnya sama dengan perusahaan baju atau perusahaan kerupuk. Itulah sebabnya, di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDB negara," ungakpnya.

Fakta lainnya, lanjutnya, UMK ditetapkan bersyarat yang diatur kemudian adalah pemerintah. Bagi KSPI, hal ini hanya menjadi alibi bagi Pemerintah untuk menghilangkan UMK di daerah-daerah yang selama ini berlaku, karena kewenangan untuk itu ada di pemerintah. Padahal dalam UU 13 Tahun 2003, UMK langsung ditentukan tanpa syarat.

Kemudian, masih ada lagi 11 poin tuntutan buruh yang akan diperjuangkan secara konstitusional, mulai dari upah per jam, hak cuti hingga status karyawan outsourcing.