Liputan6.com, Jakarta Peneliti P2P LIPI sekaligus Pegiat Marepus Corner Defbry Margiansyah memaparkan hasil penelitian Marepus Corner bertajuk 'Peta Pebisnis di Parlemen: Potret Oligarki di Indonesia'.
Penelitian ini mengungkapkan kolerasi percepatan penyusunan regulasi dengan dugaan kepentingan politik dan bisnis para pengusaha.
Baca Juga
Temuan awal penelitian ini menyebutkan, sebanyak 318 orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan pebisnis.
Advertisement
"Total pebisnis meningkat jadi 318 orang, 5 sampai 6 orang dari 10 anggota DPR adalah pebisnis. Jumlah ini lebih dari setengah anggota DPR (55 persen), sedangnya yang non pebisnis hanya 45 persen," ujar Defbry dalam paparannya, Jumat (9/10/2020).
Secara sektoral, para pebisnis tersebut berkecimpung paling banyak di sektor energi dan migas (15 persen) serta teknologi, industri, manufaktur dan ritel (15 persen).
Sisanya, tersebar di sektor developer dan kontraktor (12 persen), sektor perkebunan, perikanan dan peternakan (11 persen) hingga keuangan dan perbankan (6 persen).
Penelitian ini juga menemukan 116 afiliasi para pebisnis di DPR dengan pemegang kekuasaan (material power). Sebut saja afiliasi dengan Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie hingga Surya Paloh.
Dasar hubungannya dikaitkan dengan posisi DPR pebisnis di perusahaan pemegang kekuasaan tersebut, bukan relasi antar partai.
"Status hubungannya lebih banyak aktor utama, yaitu mereka yang menempati posisi di mereka yang memegang material power. Tapi ada juga status hubungan anak, kerabat," lanjut dia.
Defbry menyatakan, potensi konflik kepentingan ini semakin tinggi dengan adanya keterkaitan antara bidang usaha yang dimiliki dan penempatan komisi pebisnis di DPR.
"Hal ini mengindikasikan kerentanan agenda kerja komisi terhadap bisnis tertentu, terlebih absennya aturan yang mengatur penempatan anggota di komisi," jelas dia.
Â
Saksikan video di bawah ini:
Banyak Pengusaha Jadi Wakil Rakyat, Oligarki Indonesia Dinilai Terlalu Vulgar
Peneliti Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai Indonesia memiliki praktik oligarki yang terlalu berani dan vulgar, terutama dalam konteks kepentingan bisnis.
Hal ini dikarenakan para pengusaha yang dinilai memiliki kepentingan dengan leluasa bisa masuk dan ikut menjadi bagian dalam pengambilan keputusan. Oligarki ini disebut sudah memasuki level yang ekstrim.
"Di Indonesia, mainnya sekarang mulai kasar, dan sudah berubah bentuk menjadi 4.0 (digital)," ujarnya dalam diskusi virtual, Jumat (9/10/2020).
Bhima membandingkan praktik oligarki di Indonesia dengan negara-negara lain. Di Amerika Serikat, misalnya, oligarki dilakukan dengan cara yang lebih halus dan elegan.
Perusahaan besar, lanjut Bhima, seperti Amazon, Facebook, Google dan perusahaan teknologi lain di Silicon Valley melakukan 'oligarki digital' dengan membuat yayasan dan tidak terlibat langsung dalam pengambilan kebijakan pemerintah.
"Mereka melakukan pressure (tekanan) terhadap regulasi, upaya mempengaruhi kebijakan eksekutif dan legislatif dengan cara yang sangat halus," katanya.
Berbeda dengan kondisi oligarki di Indonesia, dimana para pebisnis diikutsertakan menjadi bagian pemerintah. Bhima mencontohkan kasus Staf Khusus Milenial Presiden yang sempat ramai beberapa waktu lalu dan kaitannya dengan pengadaan kelas di program Kartu Prakerja.
"Di luar negeri, nggak ada yang namanya Jeff Bezos, Mark Zuckerberg jadi stafsus. Mereka justru mencoba jaga jarak dari hal itu, tapi kebijakan harus berpihak ke kepentingan bisnis mereka," katanya.
"Tapi di Indonesia, ada yang jadi parlemen, stafsus, menteri, itu masih memegang usaha yang berkaitan langsung dengan tupoksinya, ini yang saya kira oligarki di Indonesia sudah mencapai titik ekstrim," lanjutnya.
Sebagai tambahan, mengutip data Credit Suisse Global Wealth Index, 50 persen kekayaan di Indonesia dikuasai oleh 1 persen orang terkaya. Hal ini dinilai semakin mendukung suburnya praktik oligarki di Indonesia.
"Inggris saja yang jadi negara dengan sejarah kapitalisme, 1 persen orang terkaya hanya menguasai 23,9 persen saja (atas kekayaan secara keseluruhan). Tapi Indonesia ini bahkan sudah ultra liberal capitalism," tutur Bhima.
Advertisement