Sukses

Penanganan Covid-19 Jadi PR 1 Tahun Jokowi-Ma'ruf Amin

Jokowi-Ma'ruf Amin dinilai lambat dalam menangani pandemi Covid-19

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, memberikan sejumlah catatan terhadap kinerja 1 tahun Jokowi-Ma'ruf Amin dalam memimpin Indonesia. Salah satunya terkait lambatnya penanganan Covid-19 baik dari sisi kesehatan maupun ekonomi.

Menurut Bhima, penanganan Covid-19 yang terlambat turut berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional yangengalami penurunan hingga level minus 5,32 persen pada kuartal II 2020.

Di sisi lain, China yang jadi sumber asal pandemi tersebut justru mampu mencatatkan pertumbuhan positif 3,2 persen di periode yang sama.

"Vietnam juga tumbuh positif 0,3 persen karena adanya respon cepat pada pemutusan rantai pandemi, dengan lakukan lockdown dan merupakan negara pertama yang memutus penerbangan udara dengan China," kata Bhima kepada Liputan6.com, Senin (19/10/2020).

Bhima juga memberikan sorotan terhadap kesiapan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amindalam hal stimulus pemulihan ekonomi nasional (PEN) menghadapi resesi ekonomi.

Dia menilai, jumlah bantuan yang sebesar 4,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) ini relatif kecil dibandingkan negara tetangga. Seperti Malaysia yang sekitar 20,8 persen dari PDB, dan Singapura sebesar 13 persen dari PDB.

"Stimulus kesehatan dalam PEN hanya dialokasikan 12 persen, sementara korporasi mendapatkan 24 persen stimulus. Ada ketimpangan yang nyata antara penyelamatan kesehatan dibandingkan ekonomi," ungkap Bhima.

Puncaknya ketika DPR RI mengesahkan Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja. Bhima menganggap legitimasi kebijakan justru bertolak belakang dari tujuan pemerintah memulihkan perekonomian nasional.

"Di tengah situasi pandemi, presiden dan DPR mengeluarkan UU Cipta Kerja yang kontraproduktif terhadap upaya pemulihan ekonomi. Dengan draft yang berubah-rubah paska paripurna DPR serta implikasi dirilisnya 516 aturan pelaksana, UU Cipta Kerja membuat ketidakpastian regulasi di Indonesia meningkat," ujar Bhima.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Wariskan Utang Rp 20,5 Juta pe Penduduk

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyoroti beberapa masalah di bidang ekonomi selama 1 tahun Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin menjabat. Salah satunya terkait nilai utang negara yang terus meninggi dan jadi warisan bangsa.

Mengutip catatan International Debt Statistics 2021 dari Bank Dunia, Bhima memaparkan, Indonesia tercatat menempati urutan ke-6 tertinggi di antara negara berpendapatan menengah dan rendah dalam Utang Luar Negeri (ULN), yakni USD 402 miliar.

Beban utang luar negeri tersebut jauh lebih besar dibanding negara berpendapatan menengah lain seperti Argentina, Afrika Selatan hingga Thailand. Bahkan berpotensi semakin membesar di tengah situasi pandemi Covid-19 saat ini.

"Di tengah situasi pandemi, pemerintah terus menambah utang dalam bentuk penerbitan utang valas yang rentan membengkak jika ada guncangan dari kurs rupiah," ujar Bhima kepada Liputan6.com, Senin (19/10/2020).

Pada 2020, pemerintah juga telah menerbitkan Global Bond sebesar USD 4,3 miliar dan jatuh tempo pada 2050 atau tenor 30,5 tahun. Artinya, ia menegaskan, pemerintah tengsh mewarisi utang pada generasi ke depan.

"Setiap 1 orang penduduk di era Pemerintahan Jokowi-Maa’ruf Amin tercatat menanggung utang Rp 20,5 juta. Itu diambil dari perhitungan utang pemerintah Rp 5.594,9 triliun per Agustus 2020 dibagi 272 juta penduduk," cibirnya.

Bhima pun tak menyangkal jika beban utang itu bakal semakin membesar. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi nasional alami penurunan hingga menyentuh level -5,32 persen di kuartal II 2020 akibat terlambatnya penanganan Covid-19 yang dilakukan.

Kenyataan ini berbanding terbalik dengan China yang merupakan negara asal pandemi. Negeri Tirai Bambu mencatatkan pertumbuhan positif 3,2 persen di periode yang sama. Sementara Vietnam juga tumbuh positif 0,3 persen karena adanya respon cepat pada pemutusan rantai pandemi, dengan lakukan lockdown dan merupakan negara pertama yang memutus penerbangan udara dengan China.

Di sisi lain, kesiapan Pemerintaham Jokowi dalam hal stimulus pemulihan ekonomi nasional (PEN) menghadapi resesi ekonomi relatif kecil, hanya 4,2 persen dari PDB dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia yang 20,8 persen dan Singapura 13 persen.

"Stimulus kesehatan dalam PEN hanya dialokasikan 12 persen, sementara korporasi mendapatkan 24 persen stimulus. Ada ketimpangan yang nyata antara penyelamatan kesehatan dibandingkan ekonom," seru Bhima.