Sukses

Cukai Rokok Naik di Tengah Pandemi, Sudah Tepat?

Beredarnya informasi di yang menyatakan akan ada kenaikan tarif cukai rokok sebesar 17–19 persen

Liputan6.com, Jakarta - Beredarnya informasi di media massa yang menyatakan kenaikan tarif cukai sebesar 17 – 19 persen ditanggapi penuh keprihatinan oleh paguyuban Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPSI). Bagi MPSI, informasi tersebut merupakan kabar duka terutama bagi para ibu pelinting Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang tersebar di 27 kota/kabupaten di pulau Jawa.

Seperti diketahui sebelumnya terdapat informasi yang berkembang di media massa yang menyatakan bahwa Pemerintah dikabarkan telah melakukan pembahasan kenaikan tarif cukai rokok 2021 dengan tarif cukai rokok naik rata-rata 17 – 19 persen.

Ketua Paguyuban Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPSI) Sriyadi Purnomo berharap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Presiden Joko Widodo dapat mempertimbangkan ulang rencana kenaikan tersebut. “Kenaikan tinggi di masa pandemi COVID-19 ini akan memberikan dampak negatif bagi penghidupan puluhan ribu pelinting SKT yang mayoritas adalah tulang punggung keluarga,” kata Sriyadi saat dihubungi wartawan di Jakarta (21/10).

Sriyadi juga mengungkapkan dampak negatif yang akan terjadi apabila kenaikan cukai eksesif dijalankan. Pertama, para ibu pelinting SKT yang mayoritas berpendidikan SD-SMP, akan terancam kehilangan pekerjaan. Ini dikarenakan permintaan pasar terhadap produk SKT yang menurun seiring kenaikan cukai yang tinggi ditambah dengan berkurangnya daya saing terhadap rokok yang diproduksi mesin.

“Jika terjadi PHK, bagaimana dengan nasib mereka? Siapa yang akan mempekerjakan mereka kembali. Siapa yang akan menyekolahkan anak-anak mereka?” tanya Sriyadi.

Kedua, perekonomian di sekitar lokasi produksi SKT, seperti warung, pedagang kaki lima, toko kelontong, transportasi dan kost akan turut terdampak. Padahal, penghidupan pemilik warung, toko kelontong, dan transportasi sangat bergantung pada buruh SKT yang bekerja di daerah tersebut. Praktis, perekonomian lokal akan lesu.

Melihat situasi ini, MPSI memohon perlindungan kepada Presiden Jokowi agar tidak menaikkan tarif cukai rokok kretek tangan sehingga para buruh linting tetap dapat bekerja dan memberikan nafkah bagi keluarga.

“Kami juga berharap pemerintah dapat menjauhkan tarif cukai rokok kretek tangan dengan rokok mesin sehingga produk kretek tangan tetap kompetitif, dan melindungi tenaga kerja kretek tangan,” ujar Sriyadi.

Ini poin prioritas mengingat kretek tangan merupakan segmen padat karya di mana satu pelinting mampu memproduksi tujuh batang per menit, sementara satu mesin dapat menghasilkan 16.000 batang per menit.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Cukai Rokok Dikabarkan Naik, Petani Tembakau Makin Menderita

Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menolak keras rencana kenaikan cukai rokok atau cukai hasil tembakau (CHT) 2021. Asosiasi menilai kenaikan CHT merupakan bentuk penyiksaan pemerintah terhadap rakyat, terlebih petani tembakau.

“Kami sangat tidak setuju, kalau naik 19 persen itu sudah dua kali memberatkan karena tahun ini sudah naik 23 persen, salah satu faktor penghancur dan melemahnya penyerapan industri adalah dampak kenaikan cukai,” ujar Ketua umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) Agus Parmuji kepada wartawan, Rabu (21/10/2020).

Dia mengatakan tahun ini saja perekonomian petani tembakau sudah hancur akibat harga jual tembakau yang rendah. Jika benar akan ada kenaikan harga cukai, dia memastikan kehidupan ekonomi rakyat pertembakauan Tanah Air akan makin parah.

“Hasil kami merugi, jangankan untuk melanjutkan pertanian lagi, untuk hidup saja susah. Seharusnya ini jadi kajian pemerintah, rakyatnya sudah menderita kok malah dinaikkan lagi?. Apalagi di masa pandemi COVID-19, petani tembakau juga perlu bertahan hidup," tambahnya.

Menurutnya, pemerintah hanya sepihak dalam mengambil kebijakan cukai. Agus mengaku pihaknya tidak pernah dilibatkan dalam wacana kenaikan cukai rokok ini. Padahal, seharusnya pemerintah mengajak semua pihak untuk duduk bersama.

“Lalu kalau penyerapan industri tembakau melemah apa pemerintah mau beli hasil tembakau kami? Jangan hanya beri kebijakan tapi tidak ada solusi,” tambahnya.

Lebih lanjut, Agus mengatakan kenaikan cukai rokok sebenarnya sah-sah saja, asalkan pemerintah mempertimbangkan adanya komponen kecil yang harus diperhatikan seperti petani dan buruh tani tembakau.

“Ya kalau misal naik maksimal 5 persen mungkin itu angka wajar. Pemerintah masih untung, petani tidak bingung,” ungkapnya.

Tak hanya itu, dia juga menyoroti agar pemerintah juga melindungi sektor sigaret kretek tangan (SKT) yang juga terdampak kenaikan cukai. “Teman-teman pelinting atau buruh SKT itu terdampak kenaikan cukai, padahal negara dibuatkan lapangan kerja oleh SKT. Buruh SKT dan buruh tani tembakau harus dipertimbangkan, jangan dilibas dengan kenaikan cukai,” ujarnya.

Apalagi, sebagian besar pelinting SKT ini merupakan rakyat kecil dan kebanyakan dari mereka adalah perempuan yang telah menahun bekerja sebagai pelinting rokok dan menjadi tulang punggung keluarga.