Sukses

Tolak Kenaikan Cukai Rokok, Buruh Siap Demo

Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau bakal berdemo menolak kenaikan tarif cukai rokok

 

Liputan6.com, Jakarta Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP RTMM – SPSI) mengancam akan melakukan aksi demo, menyusul rencana Pemerintah yang akan menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) 2021 sebesar 13 – 20 persen. Sebelumnya, diketahui bahwa Pemerintah telah menunda pengumuman kenaikan cukai yang biasanya dilakukan pada awal Oktober tiap tahunnya.

Ketua Umum RTMM – SPSI Sudarto menegaskan kenaikan cukai di tahun 2020 sejatinya sudah cukup mencekik dan menekan Industri Hasil Tembakau (IHT), ditambah dengan mewabahnya pandemi COVID-19. Situasi ini berimbas pada pekerja dan anggota yang terlibat dalam industri ini.

“Penurunan produksi telah menyebabkan penurunan penghasilan, kesejahteraan dan tentu daya beli pekerja. Pemerintah butuh penerimaan cukai dan pajak hasil tembakau, akan tetapi pekerja juga butuh kelangsungan bekerja dan penghidupan yang layak,” tegas Sudarto saat dihubungi wartawan (23/10/2020).

Sudarto mengaku bahwa sebelumnya telah menyampaikan aspirasinya dengan mengirimkan surat yang ditujukan kepada Presiden Jokowi pada 9 September 2020 lalu dengan tembusan kepada Kepala Staf Kepresidenan RI, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal dan Direktur Jenderal Bea Cukai. Masifnya informasi kenaikan cukai saat ini mengindikasikan surat tersebut tidak diperhatikan sama sekali oleh Pemerintah.

Melalui surat tersebut, pihaknya memohon perlindungan atas hilangnya pekerjaan anggota RTMM yang bekerja di IHT akibat pabrik yang tutup dikarenakan regulasi dan kebijakan yang tidak adil sehingga pekerja buruh menjadi korbannya.

“IHT bukanlah sapi perah bagi penerimaan negara tanpa ada stimulus yang signifikan untuk bisa bertahan walau alasan kesehatan selalu menjadi pertimbangan utama. Pengusaha bisa menutup industrinya dan mengalihkan usahanya pada sektor lain tetapi bagaimana dengan pekerja dengan tingkat pendidikan rendah dan ketrampilan terbatas,” ujar Sudarto.

Untuk itu FSP RTMM-SPSI yang menaungi dan mewakili 148.693 pekerja industri hasil tembakau Indonesia mendesak Pemerintah untuk mengambil kebijakan berimbang atas regulasi dan kenaikan cukai rokok di tahun depan. Pertama, agar membatalkan rencana kenaikan cukai hasil tembakau dan HJE pada tahun 2021 karena akan berdampak langsung pada pekerja industri hasil tembakau.

Kedua, meminta Menteri Keuangan agar melibatkan Kementerian terkait dalam mengambil kebijakan cukai, di antaranya Kementerian Tanaga Kerja, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian serta melibatkan pemangku kepentingan lainnya di antaranya inHT/pengusaha, asosiasi IHT, pekerja/buruh dalam hal ini diwakili serikat pekerja FSP RTMM-SPSI, petani dan seluruh pihak terkait lainnya.

“Terakhir untuk melindungi industri rokok kretek sebagai industri khas Indonesia dan padat karya yang paling rentan terkena program efisiensi di IHT," kata Sudarto.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Pengusaha Rokok juga Menolak

Sebelumnya, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti juga menyatakan hal yang sama untuk menolak kenaikan cukai rokok 2021. Gaprindo meminta pemerintah memberikan waktu pemulihan bagi pelaku industri yang tengah terpukul akibat pandemi dan kenaikan cukai tahun ini.

“Jangan sampai dihantam lagi dengan kenaikan cukai yang tinggi. Buat kami, kalau benar naik 19 persen itu tinggi sekali, sangat berat,” kata Muhaimin.

Menurut Moefti, kondisi saat ini, IHT tengah terpuruk akibat himpitan krisis ekonomi akibat pandemi COVID-19. Selain itu, IHT juga menanggung beban kenaikan cukai sebesar 23 persen, serta ketentuan minimum harga jual eceran (HJE) yang naik sebesar 35 persen pada 2020.

Untuk itu, kabar besaran kenaikan tarif CHT yang meluas saat ini dinilai tidak memberikan waktu bagi pelaku industri untuk memulihkan iklim bisnisnya yang lesu.

“Kasih kami kesempatan untuk pemulihan. Kalau mau ada kenaikan ya yang wajar, sesuai dengan inflasi. Kalaupun naik jangan sampai 10 persen, 6 persen misalnya,” ujar Muhaimin.