Sukses

Ditolak Buruh, Menaker Sebut Penetapan UMP 2021 sebagai Jalan Tengah

Kemneker mutuskan untuk tidak menaikkan upah minimum tahun 2021 (UMP 2021).

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, menanggapi polemik atas penerbitan Surat Edaran (SE) Nomor M/11/HK.04/2020 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2021 pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Menurutnya ketentuan tidak menaikkan upah minimum tahun 2021 (UMP 2021) dalam SE anyar itu merupakan jalan tengah yang diambil pemerintah.

"Ini jalan tengah yang harus diambil oleh pemerintah dalam kondisi yang sulit dan tidak mudah. Perlindungan pengupahan kita jaga, keberlangsungan usaha harus kita perhatikan. Atas dasar itulah SE ini kami keluarkan," kata Menaker Ida di Jakarta, Selasa (27/10).

Menurut Menaker Ida, penerbitan SE tersebut berdasarkan kajian yang dilakukan secara mendalam oleh Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) terkait dampak Covid-19 terhadap pengupahan.

Mengingat pandemi Covid-19 telah berdampak kondisi perekonomian dan kemampuan perusahaan dalam memenuhi hak pekerja/buruh termasuk dalam membayar upah.

SE UMP tersebut juga dalam rangka memberikan perlindungan dan keberlangsungan bekerja bagi pekerja/buruh serta menjaga kelangsungan usaha. Alhasil perlu dilakukan penyesuaian terhadap penetapan upah minimum pada situasi pemulihan ekonomi di masa pandemi Covid-19.

"Di samping itu tentu saja harus diingat bahwa pemerintah tetap memperhatikan kemampuan daya beli para pekerja melalui subsidi gaji/upah. Sesungguhnya bantalan sosial sudah disediakan oleh pemerintah. Jadi pemerintah tidak begitu saja menetapkan itu karena ada beberapa langkah yang sudah dilakukan," terangnya.

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Ditolak Buruh

Sebelumnya, kritik keras dari diberikan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) atas keputusan pemerintah yang tidak menaikkan UMP 2021. Presiden KSPI, Said Iqbal, menilai keputusan itu menunjukkan Menteri Ida tidak memiliki sensitivitas terhadap buruh dan cenderung memanjakan pengusaha.

"Menaker tidak memiliki sensitivitas nasib buruh, hanya memandang kepentingan pengusaha semata. Aksi perlawanan buruh akan semakin mengeras terhadap penolakan tidak adanya kenaikan upah minimum 2021 dan penolakan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja," kata Said, Selasa (27/10).

Iqbal mengakui, di situasi pandemi saat ini seluruh masyarakat menghadapi kondisi sulit, termasuk pengusaha. Namun, katanya, rasa sulit jauh lebih dirasakan buruh.

Oleh karena itu, dia berharap pemerintah dalam hal ini Menaker bersikap lebih adil dengan tetap menaikkan upah minimum 2021.

"Tetapi bagi perusahaan yang tidak mampu, maka dapat melakukan penangguhan dengan tidak menaikkan upah minimum setelah berunding dengan serikat pekerja di tingkat perusahaan dan melaporkannya ke Kemenaker," kata Iqbal.

"Jangan dipukul rata semua perusahaan tidak mampu. Faktanya di tahun 1998 pun tetap ada kenaikan upah minimum untuk menjaga daya beli masyarakat," tegasnya.

Oleh karena itulah, kata Iqbal, buruh akan melakukan aksi nasional besar-besaran di 24 provinsi pada 2 November dan 9-10 November yang diikuti puluhan dan bahkan ratusan ribu buruh di Mahkamah Konstitusi, Istana, DPR RI, dan di kantor Gubernur di seluruh Indonesia dengan membawa isu batalkan omnibus law UU Cipta Kerja dan harus ada kenaikan upah minimum 2021 untuk menjaga daya beli masyarakat.