Liputan6.com, Jakarta Direktur Perlindungan Perkebunan Ardi Praptono mengatakan bahwa sekitar 60 persen luas areal tebu merupakan perkebunan rakuat. Tentunya hal ini menjadi tantangan besar karena kondisi yang beragam.
"Ada yang sudah maju, ada yang tidak punya alat yang cukup untuk perlindungan tanaman. Fokus pemerintah untuk perlindungan tanaman tebu pada perkebunan rakyat," kata Ardi dalam seminar online pemanis seri 6 Balittas.
Disamping luasnya lahan, tantangan lainnya adalah areal tebu yang semakin menurun. Oleh karena itu diperlukan upaya menjaga produksi tebu lewat perlindungan tanaman, dengan menjaga dari Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Salah satu masalah yang dihadapi dalam on farm tebu adalah perubahan iklim global yang mempengaruhi perkembangan OPT.
Advertisement
Hama utama tanaman tebu adalah penggerek pucuk, penggerek batang bergaris (Chilo saccharipagus B), berkilat (Chilo auriculus D), raksasa (Phragmataecia castaneae H), uret, tikus, ulat pemakan daun, tonggeret, belalang kayu, kutu bulu putih.
Pengendalian dengan menggunakan varietas tebu yang toleran, benih yang sehat, kultur teknis (pengaturan masa tanam, sanitasi lingkungan), sanitasi (membongkar, memusnahkan/eradikasi), mekanis (pemasangan perangkap/light trap, lubang perangkap, tanaman perangkap, gropyokan), biologis (APH atau musuh alami), pengumpanan beracun (rodentisida), kimia (fumigasi/emposan/pengasapan beracun).
"Fokus kita saat ini pada uret dengan pengendalian secara biologis menggunakan agen pengendali hayati. Cara ini aman terhadap hewan sekitar dan lingkungan. Pengendalian kimia merupakan garda paling akhir," kata Ardi.
Penyakit utama tanaman tebu adalah luka api (jamur Spirosorium scitamineum) dan penyakit pembuluh (ratoon stunting disease/RSD). Metode pengendalian dengan seed dressing atau seed treatment, sanitasi atau eradikasi, pemupukan (pupuk hayati mikoriza dan Trichoderma harzianum), kimiawi (bayleton, fungisida).
Kehilangan hasil akibat OPT tebu triwulan 1 tahun 2020 adalah tikus luas serangan berat nasional 279,9 ha dominan di Jawa 239,14 ha, persentase kehilangan hasil 35%, taksasi kehilangan produksi nasional 548 ton Jawa 468,04 ton, dengan harga tebu Rp550.000/ton maka taksasi kerugian hasil nasional RpRp301.398.035, di Jawa saja Rp257.424.644.
Hama uret di Jawa luas serangan berat 210,8 ha, kehilangan hasil 20%, taksasi kehilangan produksi 235,76 ton, taksasi kerugian hasil Rp129.667.296.
Penggerek batang luas serangan berat nasional 522,12 ha dominan Jawa 338,14 ha, kehilangan hasil 20%, taksasi kehilangan produksi nasional 583,94 ton dan Jawa 378,18 ton, taksasi kerugian hasil nasional Rp321.166.454 di Jawa saja Rp207.996.677.
Penggerak pucuk di Jawa luas serangan 373,55 ha, kehilangan hasil 20%, taksasi kehilangan hasil 417,78 ton, taksasi kerugian hasil Rp229.778.076. “Dengan melihat kerugian maka kita dapat memitigasi penanggulannya,” kata Ardi.
Program pengendalian OPT tebu adalah dengan Gerakan Pengendalian (Gerdal). Gerdal OPT tebu tahun 2020 di Jawa Timur 300 ha yaitu Kediri,Situbondo dan Bondowoso masing-masing 100 ha; Jawa Tengah 100 ha yaitu di Kebumen dan Purworejo masing-masing 50 ha. Tahun 2021 Jawa Timur 300 ha berlokasi di Kediri, Situbondo dan Tulungagung masing-masing 100 ha; Jawa Tengah sama dengan tahun 2020.
Metode pengendalian pada gerdal contohnya mekanis, seperti pengambilan, pengumpulan dan pemusnahan uret pada saat pengolahan tanah dan pemasangan perangkap jaring.
(*)