Liputan6.com, Jakarta - Pandemi Covid-19 membuat kemampuan hidup hampir seluruh lini bisnis menurun. UMKM jadi salah satu lini yang tertekan paling dalam. Apalagi, jika usaha yang dijalankan hanya mengandalkan pergerakan fisik dan aktivitas orang.
Head of Mandiri Institute Teguh Yudo Wicaksono dalam riset yang dilakukan Mandiri Institute pada bulan Agustus 2020 menemukan, UMKM yang bekerja luring, tanpa memanfaatkan teknologi, hanya mampu bertahan 3 bulan saja. Lain lagi dengan UMKM yang sudah terdigitalisasi.
Baca Juga
Selain memiliki durasi bertahan hidup lebih lama, omzet UMKM yang terdigitalisasi juga cenderung meningkat.
Advertisement
"Pentingnya digitalisasi, UMKM dengan akses digital, mereka omsetnya naik, durasi bertahannya naik, modal kerjanya juga. Biasanya 3 bulan itu bulan kritis, rata-rata UMKM punya modal kerja 3 bulan atau kurang," jelas Teguh dalam tayangan virtual, Selasa (2/11/2020).
Secara rinci, temuan Mandiri Institute menyebutkan terdapat 38 persen UMKM terdigitalisasi yang mengalami peningkatan pendapatan usaha lebih dari 50 persen.
Lalu, 38 persen UMKM terdigitalisasi juga memiliki masa bertahan hidup lebih dari 4 bulan (di tengah pandemi).
Berbeda dengan UMKM yang masih mengandalkan penjualan offline, dimana yang mengalami peningkatan pendapatan lebih dari 50 persen hanya 32 persen UMKM saja, dan rata-rata (44 persen) punya durasi bertahan kurang dari 3 bulan.
"Selain itu, UMKM yang terhubung secara digital juga punya strategi bertahan hidup yang lebih variatif dan efisien dalam menghadapi perubahan akibat pandemi," ujar Teguh.
Saksikan video pilihan berikut ini:
UMKM Diminta Cermat Manfaatkan Peluang Bisnis di Tengah Pandemi
Sebelumnya, pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) harus mampu merespon perubahan-perubahan perilaku dan pola konsumen, sebagai akibat dari penerapan physical distancing selama pandemi Covid-19.
Staf Khusus Menteri Koperasi dan UKM Riza Damanik mencontohkan pelaku usaha Kain Perca di Kalimantan Tengah yang selama ini memproduksi sarung bantal. Selama pandemi, produknya sulit diserap pasar, karena tidak ada yang membutuhkan sarung bantal.
"Pelaku usaha mikro yang juga penerima Banpres Produktif untuk Usaha Mikro tersebut, akhirnya ubah haluan dengan memproduksi masker dari bahan Kain Perca. Produknya pun laris manis di pasaran," kata Riza, Kamis (29/10/2020).
Contoh lain, di Pekalongan. Ada banyak perajin batik yang kesulitan dalam menjual aneka batik produksinya. Selama pandemi, nyaris tak ada yang membeli baju batik atau kain batik.
Mereka pun banting stir dengan memproduksi batik khusus untuk baju rumahan, seperti celana pendek, pakaian tidur, daster, dan sebagainya. Produk mereka pun diserbu pasar.
"Artinya, meski di tengah pandemi yang banyak merontokkan bisnis UMKM, masih ada peluang yang bisa dikembangkan. Syaratnya dengan berpikir kreatif dan inovatif," ujarnya.
Advertisement