Liputan6.com, Jakarta - Warga Amerika Serikat (AS) tengah menjalankan proses pemilihan umum (pemilu) presiden AS. Perebutan pucuk kepemimpinan antara Donald Trump dan Joe Biden ini menjadi topik utama di seluruh dunia termasuk di Indonesia.
Diketahui bersama selama kepemimpinannya, Donald Trump gencar melakukan perang dagang dengan China sehingga mempengaruhi perekonomian secara global termasuk Indonesia.
Lalu, jika Trump terpilih kembali atau Biden yang terpilih, apa pengaruhnya untuk perekonomian Indonesia dan dunia?
Advertisement
Ekonom Tauhid Ahmad memaparkan jika dilihat dari kebijakan-kebijakan Trump selama memimpin selalu mengutamakan Amerika dalam sebuah transaksi dengan negara lain, dan memiliki kebijakan menghukum negara-negara yang memiliki defisit yang merugikan AS.
“Intinya kalau Trump terpilih, ia akan menerapkan berbagai kebijakan-kebijakan kontraproduktif terhadap perdagangan antar dua negara,” kata Tauhid kepada Liputan6.com, Rabu (4/11/2020).
Misalnya keputusan pemerintah Amerika Serikat (AS) memperpanjang fasilitas Generalized System of Preference (GSP) kepada Indonesia. Berarti defisit Indonesia masih dianggap normal terhadap Amerika, kalau defisit kita tidak normal bisa saja GSP dicabut.
“Tapi ini sangat fluktuatif dan penuh ketidakpastian. Lalu, pengaruh kalau Trump terpilih maka Donald Trump akan melanjutkan kebijakan untuk perang dagang dengan cina, hampir 30 persen defisitnya disumbang defisit perdagangan dengan Cina,” jelasnya.
Sehingga perang dagang itu akan memberikan dampak jika misalnya perang dagang terjadi maka otomatis ekspor China ke Amerika akan turun, karena Bea masuknya akan ditinggikan seperti 2 tahun terakhir.
“Masalahnya ada berbagai komoditi atau produk kita yang diimpor dari Cina akhirnya diekspor kembali ke Amerika. Saya belum tahu komoditasnya apa, tapi kalau ada perang dagang akan menurunkan potensi impor kita ke cina maupun negara-negara yang dapat hukuman dari Amerika,” ujarnya.
Sementara jika Biden terpilih, menurutnya strategi Biden berbeda. Ia lebih mengutamakan membantu posisi Amerika dalam perekonomian global dengan mendorong investasi di Amerika lebih besar, sehingga terjadi akumulasi modal dan bisa meningkatkan kapasitas produksi yang besar terutama di sektor industri.
“Dia tidak menyentuh disisi perdagangan seperti Trump, tapi Biden mencoba memperkuat perekonomian domestik mereka dulu seperti dengan investasi. Dan juga melakukan renegosiasi ulang perjanjian perdagangan,” ungkapnya.
Jika Donald Trump langsung melayangkan perang dagang, namun Biden lebih melihat kembali perjanjian perdagangan yang dianggap bisa merugikan Amerika dan bisa negosiasi ulang tidak langsung menghukum negara yang berkaitan.
“Biden akan mencari mitra-mitra negara maju yang memang merasa dirugikan dengan kekayaan intelektual dan transfer teknologi,” jelasnya.
Menurutnya tergantung siapa yang terpilih, namun jika dilihat dari strateginya, Tauhid menilai kebijakan ekonomi yang ditawarkan Biden menguntungkan Indonesia.
"Kalau dari sisi ekonomi lebih soft Biden bagi kita," pungkasnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Update Hasil Sementara Pemilu Amerika 2020 Versi AP: Joe Biden 225, Donald Trump 213
Tahap penghitungan suara Pemilu Amerika Serikat (Pilpres AS) 2020 masih berlangsung di seluruh negara bagian Negeri Paman Sam.
Hinga pukul 14.16 WIB, Rabu (4/11/2020), suara elektoral Joe Biden unggul tipis dari Donald Trump. Dikutip dari Peta Hasil Pemilu AS 2020 versi AP, Joe Biden meraih 225 suara elektoral dan Donald Trump 213.
Joe Biden unggul di Washington, Oregon, California, Colorado, New Mexico, Minnesota, Illinois, Vermont, New Hampshire, Massachusetts, Rhode Island, Connecticut, New Jersey, Delaware, District of Columbia, Maryland, New York, Hawaii, dan Virginia.
Sedangkan Donald Trump menang di Montana, Idaho, Wyoming, Utah, North Dakota, South Dakota, Nebraska, Oklahoma, Arkansas, Kansas, Iowa, Missouri, Indiana, Ohio, Kentucky, Tennessee, Missis
Advertisement
Jika Tak Ada Pemenang di Malam Pilpres AS 2020
Dengan meningkatnya jumlah pencoblos secara tidak langsung dan kian dalamnya jurang politik, mungkin akan butuh waktu lebih lama untuk bisa konfirmasi hasil pemilu di Amerika Serikat.
Hasil pemilihan umum di Amerika Serikat biasanya keluar pada malam hari setelah pemilu, diikuti dengan pidato konsesi dari kandidat yang kalah pada dini harinya. Namun tahun ini, tradisi ini kemungkinan akan berubah.
Dengan rekor jumlah orang yang memberikan suara lewat surat karena khawatir tertular wabah COVID-19, prooses penghitungan surat suara bisa jadi membutuhkan waktu yang lebih lama, bisa mulur berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu setelah 3 November.
Selain kemungkinan mundurnya proses ini, sejumlah pihak dari Partai Republik juga telah mempertanyakan kredibilitas pemungutan suara lewat pos. Keadaan juga kian rumit dengan adanya ucapan Presiden Trump yang berulang kali berkomitmen untuk tidak menerima hasil pemilu.
Jika tidak ada kandidat yang memperoleh mayoritas suara elektoral karena perselisihan yang belum terselesaikan di negara bagian tertentu, Dewan Perwakilan Rakyat yang baru terpilih akan memutuskan siapa yang akan menjadi presiden paling lambat 6 Januari, sebagaimana yang ditetapkan dalam Konstitusi AS. Namun keadaan ini terakhir kali ini terjadi pada abad ke-19.
Jika tidak ada presiden yang diputuskan pada hari pelantikan pada 20 Januari, akan ada orang yang menjadi penjabat presiden. Orang tersebut bisa berupa wakil presiden yang telah terpilih atau Ketua DPR. Namun ini juga tergantung pada apakah senat telah berhasil memilih wakil presiden sebelum Januari 20.
Kemungkinan lain yang juga bisa terjadi adalah Trump menolak untuk menerima hasil pemilu jika dia kalah. Menanggapi komentar Trump pada bulan September yang menyatakan bahwa "Kita lihat nanti apa yang terjadi," para senator dengan suara bulat mengeluarkan resolusi yang menjamin berlangsungnya transisi kekuasaan secara damai.
Banyak pengamat berharap bahwa hasil pemilu akan cukup jelas. “Saya secara umum optimis bahwa kita akan membuat hal ini berhasil karena minat pada pemilu sangat tinggi,” pungkas Goldenberg.