Liputan6.com, Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat upah buruh di Indonesia pada Agustus 2020 mengalami penurunan. Penurunan tersebut terjadi akibat dampak dari pada pandemi Covid-19 yang sudah hampir lebih delapan bulan.
Kepala BPS, Suhariyanto mengatakan, dari hasil sakernas Agustus 2020 menujukan upah buruh turun sekitar 5,18 persen dibandingkan posisi periode sama tahun lalu. Di mana dari Rp2,9 juta menjadi Rp2,76 juta per bulan.
Baca Juga
"Dampak pandemi Covid-19 dirasakan hampir merata di seluruh Indonesia khususnya pada upah buruh. Besar-kecil dampak yang timbul antar daerah bervariasi tergantung parah atau tidaknya pandemi covid 19 di masing-masing daerah," kata dia di Kantornya, Jakarta, Kamis (5/11/2020).
Advertisement
Adapun sebagian besar provinsi yang mengalami penurunan upah buruh tertinggi adalah provinsi Bali sebesar 17,91 persen, disusul Kepulauan Bangka Belitung sebesar 16,98 persen, dan Nusa Tenggara Barat sebesar 8,95 persen.
Sementara itu, provinsi besar seperti Jawa Barat Jawa Tengah dan Jawa Timur upah buruhnya juga tercatat turun masing-masing sebesar 7,41 persen, 4,77 persen, dan 3,87 persen.
Di samping itu, menurut lapangan pekerjaannya, rata-rata upah tertinggi terjadi di kategori pertambangan dan penggalian yaitu sebesar Rp4,48 juta. Terendah di kategori jasa lainnya seperti pekerja salon, buruh cuci, asisten rumah tangga sebesar Rp1,69 juta.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Saksikan video di bawah ini:
KSPI: UU Cipta Kerja Diteken Jokowi, Rezim Upah Murah Dimulai
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, menilai berlakunya UU Cipta Kerja mengembalikan sistem pengupahan pada rezim upah murah.
“Berlakunya UU Cipta Kerja mengembalikan kepada rezim upah murah. Hal yang sangat kontradiktif, apalagi Indonesia sudah lebih dari 75 tahun merdeka,” kata Said, di Jakarta, Selasa (3/11/2020).
Hal ini terlihat dengan adanya sisipan Pasal 88C Ayat (1) yang menyebutkan gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi, dan Pasal 88C Ayat (2) yang menyebutkan gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.
“Penggunaan frasa “dapat” dalam penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) sangat merugikan buruh,” katanya.
Menurutnya penetapan UMK bukan kewajiban, bisa saja gubernur tidak menetapkan UMK. Hal ini akan mengakibatkan upah murah.
“Kita ambil contoh di Jawa Barat. Untuk tahun 2019, UMP Jawa Barat sebesar 1,8 juta. Sedang UMK Bekasi sebesar 4,2 juta. JIka hanya ditetapkan UMP, maka nilai upah minimum di Bekasi akan turun,” ujarnya.
Apalagi ditambah dengan dihilangkan upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (UMSK dan UMSP), karena UU No 11 Tahun 2020 menghapus Pasal 89 UU No 13 Tahun 2003.
Dihilangkannya UMSK dan UMSP sangat jelas sekali menyebabkan ketidakadilan. Bagaimana mungkin sektor industri otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai upah minimumnya sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk.
Itulah sebabnya, di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDP negara.
Advertisement