Liputan6.com, Jakarta - Menteri Riset dan Teknologi, Bambang Brodjonegoro, meminta Kementerian Kesehatan untuk segera merevisi aturan Permenkes No 54 Tahun 2018 karena belum memasukkan Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) atau fitoformaka sebagai obat rujukan dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Indonesia.
Menurutnya, regulasi tersebut sangat mengganjal upaya pemerintah untuk pemanfaatan luas OMAI di industri kesehatan dalam negeri.
Baca Juga
"Tentunya harus ada keberpihakan dari Kemenkes dan ketegasan prioritas obat yang basisnya ada di negara kita sendiri. Kalau masuk JKN, saya yakin ini akan berkembang dan banyak pihak yang akan melakukan riset," kata dia dalam webinar bertajuk Pengembangan OMAI untuk Kemandirian Obat Nasional, Jumat (6/11).
Advertisement
Menteri Bambang mengatakan, sampai saat ini porsi pemanfaatan OMAI di industri kesehatan dalam negeri masih sangat kecil. Sehingga dipastikan kalah bersaing dengan penggunaan obat kimia yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
"Padahal kehadiran OMAI dapat memberikan banyak manfaat. Di antaranya memiliki efek samping yang lebih kecil dibandingkan dengan obat kimia, bahannya relatif mudah ditemukan di negeri sendiri," paparnya.
Oleh karena itu, dia meminta secara langsung kepada Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto untuk segera merevisi regulasi tersebut. Sebagaimana yang disampaikan dalam rapat bersama kementerian/lembaga terkait beberpa waktu lalu.
"Sebenarnya dalam masa pandemi (Covid-19) sudah ada rapat beberapa kali atas impor bahan baku obat dan OMAI. Waktu itu dalam salah satu rapat sudah diminta agar Menkes (Terawan) memasukkan OMAI kedalam JKN. Dan Menkes saat itu menyatakan siap untuk melakukannya," tandasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pemerintah Beri Insentif Perusahaan Farmasi Kembangkan Obat Herbal
Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro terus mendorong pemanfaatan Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) di industri kesehatan atau farmasi dalam negeri.
Salah satunya dengan menyediakan insentif menarik bagi perusahaan farmasi yang melakukan kegiatan Research and Development (R&D) tentang OMAI.
"Dalam melakukan riset dan pengembangan inventasi, menyatakan adanya super tax deducation sampai 300 persen bagi perusahaan yang melakukan kegiatan R&D. Salah satunya atas OMAI," ujar dia dalam webinar bertajuk Pengembangan OMAI untuk Kemandirian Obat Nasional, Jumat (6/11).
Bambang mengatakan, insentif khusus di sektor perpajakkan ini dimaksudkan untuk memperluas kegiatan penelitian terkait pemanfaatan OMAI. "Sehingga OMAI dapat disejajarkan dengan bahan baku obat kimia yang merajai pasaran," tegasnya.
Mengingat saat ini kegiatan penelitian terkait OMAI di Indonesia masih terhitung minim. Lantaran diperlukan waktu yang panjang untuk menyesuaikan dengan kaidah ilmiah yang berlaku dan biaya yang tidak murah selama proses penelitian berlangsung.
"Karena memang banyak pihak yang melaporkan bahwa melakukan riset dan pengembangan uji klinis itu lama, juga memang biayanya mahal. Akhirnya memang pengembangan OMAI sampai tahap akhir terganggu," terangnya.
Maka dari itu, dia meminta partisipasi dari kementerian/lembaga terkait untuk bersama-sama mendukung program penelitian atas OMAI di Indonesia. Khususnya BPOM yang diharapkan dapat memandu kegiatan penelitian tersebut agar sesuai dengan aturan yang berlaku.
"Dari riset kita bisa identifikasi obat herbal untuk sesuai dengan fitoformaka. Sayang sekali kalau potensi herbal yang besar ini hanya menjadi catatan saja. Artinya tidak digunakan kita," tutupny
Advertisement