Sukses

Kementan: Awas, Konsumsi Daging Anjing Berbahaya

Selama ini banyak beredar anggapan atau mitos di masyarakat mengenai manfaat kesehatan mengonsumsi daging anjing.

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) mengingatkan bahayanya mengkonsumsi daging anjing bagi masyarakat.

Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Ditjen PKH Kementan Syamsul Maarif di Jakarta, Senin, mengatakan selama ini banyak beredar anggapan atau mitos di masyarakat mengenai manfaat kesehatan mengonsumsi daging anjing.

"Namun, mengonsumsi daging anjing berisiko membawa penyakit Rabies, E coli, Salmonella spp, Kolera dan Trichinellosis," katanya dalam webinar seperti dikutip dari Antara, Senin (9/11/2020).

Dikatakannya beberapa alasan masyarakat mengonsumsi anjing di antaranya terkait budaya, kepercayaan, mitos, ada juga untuk obat.

Alasan lainnya karena sudah menjadi kultur dan budaya masyarakat, seperti di Sulawesi Utara, Maluku, Yogyakarta, Solo, dan Sumatera Utara.

Syamsul menjelaskan dilihat dari aspek definisi pangan berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, daging anjing bukan bagian dalam produk pangan, karena bukan termasuk peternakan dan kehutanan.

Sedangkan dari aspek kesejahteraan hewan, berdasarkan UU Nomor 18/2009 Juncto UU No. 41/2014 serta diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 95/2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan.

Berdasarkan UU Nomor 41/2014 jika terjadi pelanggaran Pasal 91B dan Pasal 302 KUHP mengenai proses pemotongan anjing dengan cara menyakitkan dan dianiaya. Bagi pelaku bisa dipidana 1-6 bulan denda Rp 1-5 Juta.

Dilihat dari aspek pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan, Syamsul mengungkapkan sebenarnya penjualan anjing atau daging anjing dapat dibatasi melalui edukasi/pendekatan secara perlahan.

“Persoalannya prilaku manusia dalam lalu lintas perdagangan anjing yang dilakukan umumnya tidak sesuai prosedur, bahkan melalui jalur tanpa pengawasan,” ujarnya.

Padahal UU Nomor 18/2009 menyebutkan setiap orang dilarang mengeluarkan dan/atau memasukkan hewan, produk hewan, dan/atau media yang dimungkinkan membawa penyakit hewan lainnya dari daerah tertular dan/atau terduga ke daerah bebas. Bagi pelaku yang melanggar akan terkena pidana 1-5 tahun, denda Rp 150 juta hingga Rp1 miliar.

“Dari hasil survei ternyata 82,2 persen pelaku mengetahui aturan hukum, tapi mereka tidak bisa mengubah pola prilaku. Karena itu kuncinya adalah bagaimana kita mengubah perilaku dan sikap masyarakat,” tegasnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Bisnis Menggiurkan

Sementara itu Kepala Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani, Badan Karantina Pertanian Agus Sunanto mengakui perdagangan anjing menjadi bisnis yang menggiurkan, karena tingginya kebutuhan.

Data Badan Karantina Pertanian mencatat lalu lintas perdagangan anjing dari Jawa ke Pulau Sumatera mencapai 2.000 ekor per bulan.

“Tugas Karantina disini adalah mencegah lalu lintas perdagangan hewan dari daerah wabah rabies ke wilayah bebas rabies. Jadi tidak ada larangan perdagangan anjing sepanjang dari daerah bebas rabies,” ujarnya.

Dalam lalu lintas hewan, tambahnya, telah ditetapkan persyaratan karantina yakni melengkapi sertifikat kesehatan hewan dari tempat pengeluaran, status dan situasi daerah asal yakni bebas rabies, memenuhi persyaratan teknis karantina, pemeriksaan dokumen dan pemantauan.

“Dari sisi karantina jika perdagangan hewan tidak memenuhi persyaratan, tindakan kita menolak atau memusnahkan,” tegasnya.

​​​​​​​Sementara itu Mery W Fernandez, aktivis dari JAAN (Jakarta Animal Aid Network), mendesak pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap oknum yang melanggar dalam perdagangan anjing.

Dari hasil investigasi, lanjutnya, banyak terjadi perdagangan ilegal anjing, khususnya untuk konsumsi.