Liputan6.com, Jakarta Pemerintah mendorong pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk dapat terintegrasi secara rantai pasok dengan pengusaha besar. Namun demikian, kualitas pendampingan yang dilakukan saat ini masih dipertanyakan.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan, pemerintah sekarang tengah melakukan pendampingan dengan cara menarik pihak pendamping di tingkat kabupaten.
"Memang kita ada dana-dana dari dekonsentrasi yang dikirim ke daerah, termasuk untuk melakukan pendampingan," kata Teten dalam sesi webinar bersama Sinarmas, Kamis (12/11/2020).
Advertisement
Kendati begitu, ia menyoroti kuantitas pihak pendamping yang belum banyak tersedia. Terlebih kualitas dan cara pendampingan UMKM yang ada di tingkat kabupaten pun masih cenderung asal-asalan.
"Nah cuman pendamping itu pertama jumlahnya tidak cukup, kedua juga kualitas. Ini asal rekrut aja, apalagi kalau musim pilkada kan banyak yang merekrutnya asal-asalan. Ini catatan kami," tuturnya.
Menindaki hal tersebut, Kementerian Koperasi dan UKM coba mengevaluasi dari segi jumlah dan kualitas pendamping UMKM di setiap daerah melalui Balai Pelatihan Koperasi (Balatkop) di setiap provinsi.
"Jadi infrastruktur itu sebenarnya sudah bagus ada Balatkop, hanya satu yang enggak punya, Yogyakarta aja. Ini bisa kita kembangkan lah ke depan," ujar dia.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Sri Mulyani Kesulitan Cari Data UMKM
Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengeluhkan masih sulitnya mendapatkan data masyarakat penerima bantuan sosial (bansos). Kesulitan tersebut terjadi kepada sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
"Paling sering dibahas namun sulit dari datanya adalah UMKM," katanya dalam acara Indonesia Fintech Summit, secara virtual di Jakarta, pada Rabu 11 November 2020.
Bendahara Negara itu mengatakan, banyak yang menyebut Indonesia memiliki 60 juta UMKM. Namun ketika pemerintah, mengalokasikan anggaran program pemulihan ekonomi (PEN) untuk UMKM, seperti fasilitas subsidi bunga atau restrukturisasi pinjaman atau banpres produktif Rp2,4 juta per UMKM, justru kesulitan.
"Mencari orangnya ini tidak gampang. Kita punya database yang sangat terfragmentasi," sebutnya.
Dia menyebut, selama ini data-data UMKM tersebut tidak berasal dari satu pintu. Ada yang berasal dari perbankan seperti BNI, BRI, dan bank lainnya. Juga ada pula yang berasal dari non bank seperti PNM, pegadaian, dan di Kemenkop UKM.
"Jadi ini adalah perlunya untuk integrasikan dan memungkinkan untuk eksekusi efektif efisien dan tepat sasaran. Juga bisa minimalkan yang disebut exclusion dan inclusion error" tandas dia.
Advertisement