Sukses

Resesi Akibat Pandemi Covid-19 Hantam 92,9 Persen Negara di Dunia

Terjadi 14 kali resesi ekonomi global pada kurun waktu 1871 hingga 2020.

Liputan6.com, Jakarta - Dalam catatan Bank Dunia, terjadi 14 resesi ekonomi global pada kurun waktu 1871 hingga 2020. Sebelum 2020, resesi terberat yang pernah terjadi pada 1931. Setidaknya 83,8 persen negara di dunia terdampak.

Namun, resesi global tahun 2020 memecahkan rekor yang pernah ada. Resesi akibat pandemi Covid-19 ini menghantam 92,9 persen negara yang ada di dunia.

"Tahun 2020, resesi ini jauh lebih dalam karena negara yang terdampak lebih dari 92,9 persen," kata Staf Ahli Bidang Peningkatan Daya Saing dan Penanaman Modal, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Heldy Satrya Putera dalam Webinar LPPI bertajuk Pembiayaan dan Investasi pada Revolusi 4.0 dan Internet of Things (IOT), Jakarta, Kamis (12/11/2020).

Heldy menilai, kondisi ini sebenarnya bukan hanya disebabkan oleh mewabahnya virus corona ke seluruh dunia. Tetapi berbagai ketidakpastian global yang terjadi sebelum munculnya pandemi Covid-19.

"Sebetulnya bukan di pandemi saja tetapi ada ketidakpastian global dalam hal ekonomi sebelumnya," kata Heldy.

Ketidakpastian global saat ini juga dipicu oleh perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Peristiwa Brexit atau keluarnya Kerajaan Inggris dari Uni Eropa juga ikut menyumbang ketidakpastian global.

Belum lagi anjloknya harga minyak dunia dan peristiwa deglobaliasasi. Antara lain, proteksionisme ekonomi domestik kembali marak dan diversifikasi rantau pasok pasca perang dagang juga turut andil membuat ketidakpastian global.

"Ini yang membuat kondisi saat ini jauh berbeda dibandingkan resei ekonomi sebelumnya," ungkap Heldy.

Bahkan secara khusus resesi ekonomi tahun ini berbeda jauh dengan resesi ekonomi yang pernah dialami Indonesia pada tahun 1998. "Kita juga tidak bisa membedakan dengan resesi ekonomi sebelumnya tahun 1998 karen berbeda sekali," imbuhnya.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Indonesia Resesi, Ini yang Harus Dilakukan Pemerintah

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia pada kuartal III-2020 (minus) -3,49 persen secara year on year (yoy/tahunan) dibandingkan periode yang sama tahun 2019. Angka minus ini menyusul pertumbuhan yang juga negatif di kuartal II, sebesar (minus) -5,32 persen.

Atas dasar pertumbuhan dua kuartal berturut-turut yang negatif itu, Indonesia sah disebut mengalami resesi.

Anggota Komisi XI DPR Hendrawan Supratikno mengatakan, kondisi perlambatan ekonomi saat ini sebenarnya sudah dirasakan sejak beberapa tahun lalu.

Indikasinya adalah target pertumbuhan ekonomi yang selalu tidak tercapai. Terlebih ketika kemudian terjadi pandemic covid-19 dan diberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), ia mengaku sudah bisa memastikan pertumbuhan ekonomi akan semakin terpukul.

“Jadi kami sudah tidak risau dengan istilah-istilah seperti resesi yang merujuk pada perlambatan ekonomi. Kami sudah menilai dan antisipasi sejak beberapa tahun lalu,” ucapnya.

Sejak melihat melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia secara menyeluruh mengalami penurunan yang ditandai dengan penurunan harga komoditas di pasar internasional dan tidak tercapainya target pertumbuhan pajak, menurut Hendrawan, pihaknya sudah mendesak pemerintah untuk melakukan beberapa tindakan strategis.

Yang pertama adalah, agar Pemerintah membuat perencanaan pembangunan yang lebih realistis sejak 2-3 tahun silam. Kedua, Pemerintah harus membuat kebijakan ekonomi uang yang bersifat anti cyclical/ countercyclical/antisiklik (menantang arah angin ) dalam bentuk kebijakan fiskal yang lebih agresif di mana pemerintah harus turun tangan menjadi pelaku ekonomi.“

"Itu yang lebih penting bagi pemerintah, dan kami sudah wanti-wanti kepada Kepala Bappenas, OJK, Gubernur BI untuk benar-benar menerapkan kebijakan anti siklik,” ujarnya.

Namun dalam perjalanan waktu, ekonomi yang sudah melambat itu ternyata kembali mendapatkan pukulan yang lebih keras ketika terjadi pandemic Covid-19. Kejadian luar biasa ini tidak hanya memberi efek pada satu sisi, supply atau demand saja seperti dalam perlambatan biasa, namun memukul dua sisi sekaligus yaitu supply dan demand.

Kondisi inilah yang mendorong DPR menerima Perpu 1/2020 yaitu Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan disahkan menjadi Undang-undang Nomor 2/2020 dan menyetujui program pemulihan sebesar Rp695,2T.

3 dari 3 halaman

Di Bawah Garis Kemiskinan

Hendrawan menyebut, saat ini ada 9,6 persen masyarakat di bawah garis kemiskinan, yang kalau dipecah lagi ada 3,6 persen di antaranya berada titik kemiskinan ekstrim dengan pendapatan per kapita di bawah 1,9 $AS/hari.

Pertimbangan inilah yang membuat DPR setuju dengan semua rencana Pemerintah, dan tidak berdebat lagi termasuk terhadap APBN Perubahan yang ditetapkan melalui Perpres 72/2020.

“Memang kami jadi menuruti apa yang dimaui Pemerintah karena kondisi, dan juga karena permintaan presiden. Kalau kondisi normal, tidak mungkin,” tegasnya.

“Kalau tidak ada kondisi itu, pasti kami menolak karena di sana untuk sementara politik anggaran yang merupakan peran penting DPR diambil alih sepenuhnya oleh Pemerintah. Kami jadi seperti memberi Sri Mulyani (Menteri Keuangan--Red) cek kosong, sehingga dalam waktu pendek utang melejit luar biasa,” sambungnya lagi.

Sebagai syarat atas persetujuan tersebut, lanjut Hendrawan, DPR juga sudah meminta kepada Pemerintah agar mengeksekusi program-program yang sudah disetujui dengan baik.

Namun kenyataannya, sampai minggu pertama November ini, realisasi anggaran baru terlaksana 55 persen, padahal waktu yang tersisa tinggal 1,5 bulan sampai akhir tahun anggaran 2020.

Senada dengan suara DPR, akademisi juga memberi saran kepada Pemerintah untuk mengambil peran lebih besar, guna menjaga agar konsumsi masyarakat tetap terjaga.

Jelang terakhir 2020 ini, menurut Rektor Unika Atmajaya Agustinus Prasetyantoko, jika ada pos-pos belanja yang tidak maksimal, mestinya dialihkan ke pos yang memiliki kebutuhan lebih tinggi. Misalnya dialihkan ke pos bantuan sosial bilamana bujet di pos ini sudah habis.

“Tindakan seperti ini akan sangat membantu menaikkan permintaan masyarakat menengah ke bawah agar konsumsi mereka tetap terjaga,” ujarnya.

Sebaliknya kepada masyarakat, ia berharap kendati isu utama tetap mengenai masalah kesehatan, namun belanja konsumsi juga harus mulai dilakukan. Untuk kalangan masyarakat menengah ke bawah, tegasnya, mau tak mau hal ini harus distimulasi pemerintah melalui bantuan sosial.

Sementara untuk masyarakat menengah ke atas, ia berharap mereka mulai berani belanja di sektor leasure. Hal ini sudah mulai bisa dilakukan karena menurutnya ekonomi Indonesia mulai menunjukkan pemulihan yang ditunjukkan dari angka kontraksi ekonomi yang mulai mengecil, dibandingkan kuartal kedua kemarin.

Sejumlah indikator ekonomi juga sudah memperlihatkan perbaikan seperti belanja pemerintah yang terlihat positif. Dan di balik kesulitan ini, Prasetyantoko melihat ada momentum bagus bagi Pemerintah untuk menjadikan digital ekonomi sebagai backbone perbaikan. Misalnya melakukan penyaluran bantuan social melalui teknologi finansial (fintech).

“Memang sudah ada, tapi belum intensif. Kalau sektor ini dimanfaatkan, akan menjadi fase baru ekonomi kita,” pungkasnya.