Sukses

Tak Hanya Tarik Investor, UU Cipta Kerja Harus Ramah Lingkungan

Pemerintah perlu menekankan pembangunan ekonomi berkelanjutan yang ramah lingkungan lewat UU Cipta Kerja.

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Indonesia Berly Martawardaya menilai, pemerintah perlu menekankan pembangunan ekonomi berkelanjutan yang ramah lingkungan.

Sebab sebagai produsen minyak kelapa sawit dan batubara besar, Indonesia memainkan peran penting dalam penyebaran emisi gas rumah kaca atau emisi karbon.

Berly mengatakan, hal tersebut perlu diperjelas lagi dalam peraturan turunan dari Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Menurut dia, aturan tersebut harus bisa memfasilitasi pengembangan ekonomi dan energi ramah lingkungan selain kepentingan investasi.

"Kalau bisa ada komite yang agak berjarak, terdiri dari para pakar, tokoh masyarakat. Sehingga tak hanya kepentingan investor yang dilihat, tapi juga lingkungan dan masyarakat," kata Berly, Jumat (13/11/2020).

Lebih lanjut, ia mengapresiasi upaya pemerintah yang ingin terus mendorong pembangunan rendah karbon (LCD). Hal tersebut turut terpancar dari penamaan kelompok penanganan Covid-19, yakni Satuan tugas (satgas) Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Nasional.

"Jadi saya suka sekali dengan nama komite kita, Komite Pemulihan dan Tranformasi. Sehingga kebijakannya juga harus sebagai turunan, juga harus selangkah," ujar dia.

"Bukan hanya recovery, bukan hanya back to normal, tapi juga recovery yang build better. Berarti porsi untuk APBN di LCD perlu ditingkatkan sebagai motor," tegasnya.

Menurut dia, langkah tranformasi ekonomi tersebut harus terus dilanjutkan dan dipercepat pada 2021 mendatang. Jangan sampai itu hanya diterapkan pada tahun ini, yang waktunya tidak banyak akibat pemerintah fokus menangani pandemi Covid-19.

"Tahun depan ini harus jadi kelanjutan dan akselerasi dari tahun ini yang katakanlah agak pendek waktunya. Jadi jangan tahun depan back to normal, karena krisisnya pandemi masih ada. Tapi transformasinya harus terus dilanjutkan," imbuh Berly.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Skema Izin Usaha di UU Cipta Kerja Dipertanyakan

Direktur Riset Indef, Berly Dhyatmika mempertanyakan terjadinya perubahan skema perizinan berusaha di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Di mana dari yang sebelumnya sama, kini perizinan diatur berbeda-beda sesuai dengan tingkat risikonya masing-masing.

"Jadi yang pertama simplenya ada yang dianggap risiko tinggi izinnya. Banyak dianggap prosesnya dan pengawasannya dianggap risiko rendah itu lebih sedikit izin dan pengawasannya, walaupun pertanyaan berikutnya adalah siapa yang meriset?," kata dia dalam diskusi virtual di Jakarta, Jumat (13/11/2020).

Dia pun mempertanyakan, siapa yang meriset dan mengatur skema perizinan tersebut. Apakah dilakukan di pusat, pemerintah daerah, atau juga melibatkan akademsi yang mendesain skema perizinan tersebut.

"Khusus daerah hutan dan pedalaman juga tidak ada data di sana. Jadi secara konsep cukup teruji tapi ketersediaan data dan analitis di pemda cukup berbeda," jelas dia.

UU Cipta Kerja dibuat untuk mempermudah perizinan usaha dari yang awalnya berbasis izin menjadi berbasis risiko dan skala usaha. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 7 BAB III. Tingkat risiko adalah potensi terjadinya bahaya terhadap kesehatan hingga lingkungan.

Untuk bisnis berisiko rendah perizinan usaha hanya cukup dengan Nomor Induk Berusaha (NIB). Bisnis berisiko menengah izinnya ditambah dengan pemenuhan sertifikat standar. Sedangkan yang berisiko tinggi membutuhkan persetujuan dari pemerintah pusat untuk memulai usaha.

Pada pasal berikutnya menyebutkan penghapusan izin lokasi dengan kesesuaian tata ruang. Kemudian integrasi persetujuan lingkungan dalam izin berusaha.

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) hanya untuk kegiatan usaha berisiko tinggi terhadap lingkungan. UU Cipta Kerja juga menghapus syarat investasi yang ada dalam UU sektor, dan memindahkannya ke dalam Peraturan Presiden Daftar Prioritas Investasi.

Dwi Aditya Putra

Merdeka.comÂ