Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi IV DPR AA Bagus Adhi Mahendra Putra menekankan, Rancangan Undang-undang Larangan Minuman Beralkohol (RUU Minol) tidak boleh mengesampingkan kearifan lokal tiap daerah, salah satunya di Bali.
Pasalnya, Bali merupakan daerah destinasi pariwisata yang tidak sedikit wisatawannya, baik dari dalam negeri maupun mancanegara yang mengkonsumsi alkohol. Belum lagi, kegiatan adat masyarakat Bali salah satu sarananya adalah arak dan berem.
Baca Juga
"Yang terpenting itu adalah bagaimana RUU Minol bisa lahir dan bisa diberlakukan secara merata tanpa merugikan potensi-potensi kearifan lokal itu sendiri," katanya, Jumat (13/11/2020).
Advertisement
Dalam RUU Larangan Minuman Beralkohol, terdapat klausul yang mengancam orang yang memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan atau mengonsumsi minuman beralkohol di Indonesia dengan hukuman pidana penjara.
Terkait hal itu, Gus Adhi, sapaan akrabnya, secara pribadi menolak RUU Minol tersebut agar jangan sampai lahir Undang-undang yang tidak berpihak kepada kesejahteraan rakyat.
"Kalau di Bali kita bicara miras, satu kebutuhan pariwisata, yang kedua itu bisa menggerakkan ekonomi kerakyatan. Jadi untuk membuat arak saja itu beberapa rangkaian masyarakat, dari dia manjat kelapa dan sebagainya. Itu hidup ekonomi kerakyatannya di situ. Jadi janganlah membuat undang-undang yang akan merugikan kehidupan masyarakat," terangnya.
Maka dari itu, Gus Adhi bertekad untuk melobi Badan Legislasi (Baleg) DPR RI agar mempertimbangkan kearifan lokal dan kebutuhan masyarakat seutuhnya terkait dengan RUU Larangan Minuman Beralkohol.
"Saya akan melobi kepada Badan Legislasi hendaknya mengkaji kebutuhan masyarakat seutuhnya. Janganlah melahirkan undang-undang yang akan menjadi suatu masalah bagi rakyat. Bangsa sudah berat begini, kalau ini lahir lagi akan menimbulkan gejolak baru di masyarakat," tukasnya.Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Ada IA-CEPA, Minuman Beralkohol Asal Australia Tetap Kena Bea Masuk
Pemerintah RI dan Australia resmi memberlakukan Perjanjian Kemitraan Komprehensif Bidang Ekonomi atau Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) per 5 Juli 2020 lalu.
Dalam perjanjian tersebut, Australia membebaskan bea tarif untuk seluruh produk ekspor Indonesia. Sebaliknya, Indonesia meniadakan bea masuk untuk sekitar 94,6 persen pos tarif komoditas asal Negeri Kangguru.
Menteri Perdagangan (Mendag) Agus Suparmanto mengatakan, Pemerintah memang masih belum menihilkan tarif bea masuk untuk beberapa produk yang selama ini sensitif bagi Indonesia, semisal beras dan minuman beralkohol.
"Selain itu bagi produk yang sangat sensitif seperti beras dan minuman beralkohol tidak dikomitmenkan," ujar Agus dalam sesi konferensi pers di Jakarta, Jumat (10/7/2020).
Agus juga menyatakan, Pemerintah tetap berkomitmen untuk tidak memberi keringanan kepada beberapa produk lainnya yang sensitif. Hal tersebut tetap dijaga ketika perjanjian IA-CEPA ini memiliki mekanisme tariff rate quota, di mana komoditas dalam jumlah tertentu akan diberi preferensi tarif.
"Namun jika jumlahnya sudah cukup atau melebihi kuota maka tarif yang dikenakan adalah tarif non preferensi," jelas dia.
Porsi 100 persen pembebasan tarif yang diterima Indonesia seakan menandakan bahwa NKRI bisa mengekspor lebih banyak barang ketimbang Australia. Tapi jangan salah, Indonesia masih tetap memberikan lebih banyak kelonggaran untuk produk Australia.
Sebagai perbandingan, dalam perjanjian IA-CEPA Australia menetapkan bea masuk nol persen untuk seluruh produk Indonesia pada 6.474 pos. Sebaliknya, Indonesia membebaskan 94,6 persen barang impor Australia dari 10.813 pos. Dengan begitu, Australia masih dapat mengirimkan 4.339 produk lebih banyak ke Indonesia.
Advertisement