Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor Indonesia pada Oktober 2020 mencapai USD 10,78 miliar. Angka tersebut turun 6,79 persen dibandingkan posisi bulan sebelumnya yakni sebesar USD 11,57 miliar
"Perkembangan impor Oktober 2020 ini mencapai USD 10,78 miliar atau turun 6,79 persen dibandingkan September 2020," kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa, Setianto, dalam video conference di Kantornya, Jakarta, Senin (16/10).
Baca Juga
Penurunan impor tersebut seiring dengan terjadinya penurunan pada sektor migas dan non migas. Di mana, posisi impor migas pada Oktober turun 8,03 persen menjadi USD 1,08 miliar. Kemudian untuk nonmigas turun 6,65 persen menjadi USD 9,70 miliar.
Advertisement
Sementara jika dibandingkan posisi impor pada periode sama tahun lalu nilai impor sudah turun cukup signifikan yakni 26,93 persen. Adapun posisi impot ada Oktober 2019 tercatat sebesar USD14,76 miliar.
Dia mengatakan, menurut sektor impor pada Oktober 2020 keseluruhannya menunjukan penurunan luar biasa. Di mana impor konsumsi tercatat turun sebesar 7,58 persen atau tercatat sebesar USD 1,03 miliar pada Oktober 2020.
Kemudian, untuk bahan baku atau penolong turun 5,00 persen atau setara dengan USD 7,90 miliar. Selanjutnya untuk barang modal juga turun sebesar 13,33 persen menjadi USD1,85 miliar.
"Kalau kita lihat sharenya bahan baku atau penolong pada Oktober ini sebesar 73,25 persen dari total impor 2020," tandas dia.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Yuk, ikuti kisah dari Lie maupun yang lainnya dalam Program Berani Berubah, hasil kolaborasi antara SCTV, Indosiar bersama media digital Liputan6.com dan Merdeka.com.
Mendag: Perjanjian Ekonomi RECP Tidak Bikin Indonesia Kebanjiran Produk Impor
Menteri Perdagangan (Mendag) Agus Supramanto memastikan keikusertaan Indonesia dalam perjanjian dagang Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) tidak akan membuat negara ini kebanjiran impor.
Bahkan, dia menegaskan jika sebagian besar perundingan kerjasama ini akan menguntungkan Indonesia. "Jadi sekali lagi saya ingin tekankan dengan adanya RCEP ini tidak ada kebanjiran impor," kata dia dalam konferensi pers, Minggu (15/11/2020).
Dia menegaskan, Indonesia akan tetap selektif dalam melakukan impor. Utamanya untuk bahan baku.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan, Iman Pambagyo tak menampik, Indonesia sendiri masih memerlukan impor bahan baku yang tidak bisa dihasilkan di dalam negeri. Terlebih, hal itu juga dirasakan oleh semua-semua negara.
"Tetapi yang penting ekspornya didorong kuat-kuat karena kalau kita bicara mengenai ancaman impor, semua negara RCEP juga mengalami ancaman impor sebetulnya," jelasnya.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan membeberkan sederet keuntungan Indonesia dalam rangka Perjanjian Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Salah satunya, meningkatkan sektor perdagangan hingga investasi di Indonesia.
Berdasarkan hasil kajian dalam lima tahun ke depan RCEP berpotensi meningkatkan total ekspor Indonesia ke negara-negara peserta mencapai 8-11 persen. Sementara investasi ke Indonesia diperkirakan mencapai 18-22 persen.
"RCEP merupakan gagasan secara berani yang dicetuskan Indonesia untuk mempertahankan sentralitas Asean memasuki global value chain secara lebih dalam," tutur dia.
Perjanjian RCE menjadi proses panjang perundingan di lakukan di dalam paripurna sebanyak 31 putaran. Selain itu, perjanjian kerjasama itu juga dilakukan di dalam perundingan intersesi tingkat group maupun tingkat menteri.
"Kerja keras kita selama delapan tahu menghasilkan setebal 14.367 halaman, terbagi dari dalam 20 bab dan 54 scadule komitmen yang mengikat 15 negara pesertanya tanpa memerlukan salter," katanya.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.comÂ
Advertisement