Liputan6.com, Jakarta Digitalisasi kini sudah merambah pada sektor keuangan. Dimana masyarakat mulai melakukan berbagai transaksi pembelian hingga layanan keuangan secara daring.
Namun, aspek literasi keuangan oleh masyarakat Indonesia menjadi perhatian besar bagi pemerintah serta pelaku usaha jasa keuangan.
Baca Juga
Saat ini, inklusi keuangan sudah cukup memuaskan dengan persentase 76,19 persen. Tingkat inklusi yang tinggi menjadi tidak optimal terhadap ekonomi ketika tingkat literasi berada jauh di bawahnya yang baru mencapai 38 persen dari target 50 persen.
Advertisement
Sekretaris Himpunan Bank Milik Negara (HIMBARA) Ahmad Solichin Luftiyanto menyebutkan ada tiga isu utama dalam literasi. Pertama, yakni literasi itu sendiri. Kedua akses perbankan, dan terakhir teknologi.
“Kalau kita bicara literasi keuangan yang paling penting untuk didorong saat ini adalah bagaimana sinergi lintas industri dan antar industri dengan pemerintah (OJK),” ujarnya dalam IMA Chapter Webinar Series: Perlindungan Konsumen Sektor Keuangan di Era Digital, Selasa (17/11/2020).
Dalam kesempatan yang sama, Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Tirta Segara sepakat permasalahan mengenai perlindungan konsumen di sektor keuangan perlu sinergi dari semua pihak termasuk pemerintah, industri, serta masyarakat itu sendiri.
Ia menilai rendahnya literasi ini akibat kebiasaan masyarakat yang tidak sepenuhnya mau belajar dan memahami risiko serta kewajiban sebagai konsumen keuangan.
Padahal akses terhadap pembelian produk keuangan sudah cukup baik namun tidak diimbangi dengan pemahaman dari sisi pemilik dana.
"Dia pikir pokoknya taruh uang sudah diawasi OJK lalu aman, tidak seperti itu. Teknologi ini juga ada resikonya," papar Tirta.
Saksikan Video Ini
Diawasi
Menghadapi kondisi tersebut, program perlindungan konsumen dilakukan secara preventif dan kuratif terhadap seluruh aspek yang terlibat dari sisi penyedia maupun peminjam.
Pelaku usaha jasa keuangan diawasi dalam hal transparansi terkait biaya sesuai dengan perjanjian. Selain itu, juga mengenai perlakuan yang adil terhadap konsumen, keandalan dalam memenuhi apa yang dijanjikan, penanganan pengaduan, serta perlindungan data konsumen.
Tirta menambahkan, edukasi yang digalakkan akan percuma jika masyarakat tidak turut ikut andil dalam meningkatkan pengetahuannya terkait keuangan digital seperti halnya kebocoran data.
Dia memaparkan data dari Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (APTSI) mengenai perilaku masyarakat yang bisa mengakibatkan kebocoran data di platform digital.
“60 persen pengguna internet Indonesia itu mau berbagi foto di dunia maya dengan suka rela. Mereka juga mengumbar data pribadi seperti tanggal lahir sebesar 50 persen, 46 persen alamat email, alamat rumah 30 persen, dan nomor telepon 21 persen,” tutupnya.
Advertisement