Liputan6.com, Jakarta - Direktur Informasi Teknologi, Bank Mandiri, Rico Usthavia Frans mengatakan transformasi digital tidak bisa dilakukan dengan cepat. Sebab perlu proses panjang untuk melakukannya.
"Kami punya cabang dan ATM yang banyak, transformasi ini tidak bisa dilakukan dengan cepat," kata Rico dalam diskusi bertajuk Traditional Bank VS Neo Bank, Jakarta, Selasa (17/11/2020).
Rico menyebutkan Bank Mandiri memiliki lebih dari 2000 kantor cabang dan lebih dari 1000 mesin ATM. Untuk itu, mengganti koor banking bukan hal yang mudah.
Advertisement
Diperlukan langkah-langkah yang harus hati-hati karena jika tidak, potensi jutaan nasabah bisa saja hilang.
"Makanya tranformasi itu langkah yang harus hati-hati karena berapa juta nasabah kita bisa hilang," kata dia.
Alternatif masuk ke dalam neo bank dengan cara membeli atau mengakuisisi bank. Rico menyebutkan bank himbara dan BCA bisa saja melakukan hal tersebut.
Rico menuturkan berdasarkan statistik Bank Mandiri hanya 4 persen transaksi perbankan yang dilakukan di kantor cabang. Sementara 96 persen telah menggunakan e-channel.
Dari jumlah tersebut 60 persen di antaranya menggunakan mobile banking. Saat ini, 75 persen penggunaan mesin ATM digunakan hanya untuk mengambil uang tunai.
"Artinya hampir semua transaksi non cash itu pindah ke digital," kata dia.
Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Bank Harus Jadikan Generasi Milenial Target Nasabah Utama
Pandemi Covid-19 membuat semua sektor bertransformasi dengan cepat menggunakan teknologi digital. Termasuk di industri perbankan dengan hadirnya neo bank yang masih menggunakan teknologi digital.
Sisi lain 60 persen nasabah bank berasal dari kalangan milenial dan gen z selama 5 tahun terakhir. Sementara perbankan selama ini hanya berfokus pada generasi yang telah berpenghasilan.
"Bank harus mulai masuk ke usia milenial. Selama ini bank masih tangani yang punya duit atau orang tua, tapi anaknya ini belum dipegang dengan baik," kata Ekonom Indef Aviliani dalam diskusi bertajuk Traditional Bank VS Neo Bank, Jakarta, Selasa (17/11/2020).
Saat ini, sektor keuangan non bank telah mengambil porsi pelayanan perbankan berbasis digital dan ini bisa jadi fee base income. Hal ini bisa menjadi masalah jika diambil dalam kondisi krisis kecil seperti yang terjadi pada tahun 2008 lalu.
Biasanya fee base income ini jadi tumpuan karena kredit bisa jadi masalah. Dia mencontohkan di masa krisis akibat pandemi permintaan restrukturisasi kredit.
"Jika bank hanya tergantung kredit saja, tidak akan mendapat fee base, ini kecenderungan besar," kata dia.
Aviliani mengingatkan, industri perbankan sudah harus menjadikan nasabah milenial dan gen z sebagai sasaran produk perbankan. Bila ini tidak dilakukan, khawatir generasi melek teknologi tersebut malah berpindah kepada bank asing.
Apalagi bank asing memiliki obligasi dan banyak dana murah. Dana investasi yang dibutuhkan obligasi sangat besar dan bisa memengaruhi kapasitas bank.
Advertisement