Liputan6.com, Jakarta - Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Sujatno mengusulkan agar Pemerintah tidak menghapus BBM jenis Premium secara keseluruhan. Melainkan, dialokasikan untuk daerah yang terdepan, terpencil, tertinggal (3T).
“Dari pandangan YLKI ini bukan dihapus secara keseluruhan tetapi alokasinya yang di data, artinya premium dapat dialokasikan pada wilayah-wilayah area remote, jadi yang di daerah perbatasan, pedalaman, dan pinggiran semacam itu,” kata Agus kepada Liputan6.com, Rabu (18/11/2020).
Baca Juga
Kata Agus, hal itu bertujuan agar masyarakat di 3T bisa menikmati subsidi bahan bakar minyak. Sehingga jika jenis BBM Premium ditiadakan di perkotaan itu sudah sesuai lantaran di perkotaan banyak kendaraan yang menggunakan RON lebih tinggi.
Advertisement
“Kemudian kalau dihapus di perkotaan ini bisa dipahami karena selain dari sisi lingkungan tentu saja penggunaan bahan bakar yang rendah ini tidak sesuai dengan kondisi kendaraan saat ini,” ujarnya.
Ia menjelaskan secara internasional sekarang ini di negara maju sudah menggunakan RON yang lebih tinggi, sementara hanya di Indonesia yang masih menggunakan RON yang rendah semacam premium.
Sedangkan di negara Eropa sudah mencapai RON 92, sehingga ini menjadi catatan dari segi keamanan lingkungan. Apalagi kendaraan yang ada saat ini sebetulnya menggunakan RON yang lebih tinggi.
“Inilah seharusnya masyarakat memahami bahwa menggunakan premium bukan pilihan yang baik untuk kendaraan pribadinya,” katanya.
Demikian Agus menegaskan kembali, menurut pandangan YLKI BBM premium distribusinya bisa dialihkan saja ke daerah 3T seperti laut atau pantai, bahkan pertambangan. Sehingga para nelayan dan penambang bisa menggunakan premium.
“Kalau di perkotaan bisa saja (Premium tetap digunakan) tapi akan rumit penerapannya karena kalau premium hanya dijual kepada angkutan, nanti akan lebih susah mengaturnya di lapangan, YLKI lebih condong premiumnya dialihkan untuk di daerah 3T,” pungkasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pengusaha SPBU Minta Rencana Penghapusan BBM Premium Dipercepat
Pengusaha Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang tergabung dalam Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) mendukung rencana Pemerintah terkait penghapusan BBM Premium pada 1 Januari 2021.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Hiswana Migas wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten Juan Tarigan mengatakan, pengusaha akan mendukung keputusan Pemerintah bahkan pihaknya mengusulkan tak masalah jika penghapusan BBM dipercepat bulan depan (Desember 2020).
“Posisi kami tidak dalam posisi sepakat atau tidak, karena tugas kami adalah menjalankan tugas menyalurkan BBM/LPG ke masyarakat,” kata Juan kepada Liputan6.com, Selasa (17/11/2020).
Menurutnya jika pemerintah sebagai regulator menghapus premium, maka sudah menjadi kewajiban para pengusaha untuk menjalankan adapun dari sisi bisnis tidak ada kendala atau masalah.
Ia pun tak mempermasalahkan waktu penghapusan BBM Premium, adapun masalah waktu tepat atau tidak BBM premium di hapus 1 Januari 2020, tentunya pemerintah sudah mempertimbangkan secara matang.
“Di sisi kami selaku pelaku bisnis tidak ada masalah atau kendala seandainya dilaksanakan bulan depan juga,” ujarnya.
Namun, untuk saat ini para pengusaha Hiswana Migas belum mendapatkan informasi resmi maupun sosialisasi terkait penghapusan BBM Premium.
“Sehingga ketersediaan BBM Premium masih kami lakukan,” pungkasnya.
Advertisement
Pengamat soal Penghapusan BBM Premium: Tak Ada Lagi Lahan bagi Mafia Migas
Pemerintah disebut kembali wacanakan penghapusan Bahan Bakar Minyak (BBM) Premium (RON-88) secara bertahap, yang akan dimulai pada 1 Januari 2021.
Wacana ini disambut baik Pengamat Ekonomi Energi UGM, Fahmy Radhi. Menurutnya, rencana ini sudah tepat. Sebab, premium termasuk jenis BBM beroktan rendah yang menghasilkan gas buang dari knalpot kendaraan bermotor dengan emisi tinggi. Dimana ini membahayakan bagi kesehatan masyarakat.
Selain beremisi tinggi, pengadaan impor BBM Premium berpotensi memicu moral hazard bagi Mafia Migas berburu rente. Fahmy menyebutkan, sejak beberapa tahun lalu, BBM Premium sudah tidak dijual lagi di pasar internasional. Sehingga tidak ada harga patokan.
“Tidak adanya harga patokan bagi BBM Premium berpotensi memicu praktek mark-up harga, yang menjadi lahan bagi Mafia Migas untuk berburu rente,” kata Fahmy dalam keterangannya, Senin (16/11/2020).
Meski begitu, Fahmy menyadari bahwa penghapusan BBM premium pada masa Pandemi Covid-19 akan semakin memperberat beban masyarakat. Dimana konsumen harus migrasi ke Pertamax yang harganya lebih mahal. Apalagi, masyarakat pengguna BBM Premium merupakan konsumen terbesar kedua setelah konsumen Pertalite.
Untuk meringankan beban masyarakat, Fahmy menilai penghapusan BBM di bawah RON-91 seperti Premium harus disertai dengan penurunan harga Pertamax RON-92.
“Bagi Pertamina, sesungguhnya masih ada ruang untuk menurunkan harga BBM Pertamax. Pasalnya, trend harga harga minyak dunia masih cenderung rendah, rata-rata di bawah USD 40 per barrel dan ICP (Indonesia Crude Price) ditetapkan sebesar USD 40 per barrel,” kata Fahmy.