Sukses

Program B30 Abaikan Tren Penurunan Konsumsi Biodisel AS

Kebijakan B30 dinilai mengabaikan tren penurunan konsumsi biodisel di Eropa dan Amerika Serikat hingga 2029.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah tengah mengurangi ketergantungan impor bahan bakar fosil. Upaya ini dilakukan melalui Program B30 (biodiesel) sudah direalisasikan, menyusul kemudian B50 yang rencana dikeluarkan pada tahun depan.

Namun, Ekonom Senior Faisal Basri menilai, kebijakan ini mengabaikan tren penurunan konsumsi biodisel di Eropa dan Amerika Serikat hingga tahun 2029.

Implikasinya, teknologi permesinan dunia tidak didesain untuk menggunakan biodiesel, mengingat Amerika Serikat dan Eropa ujung tombak teknologi permesinan dunia.

“Dalam beberapa tahun terakhir, produksi biodisel meningkat karena Program Biofuel. Kalau sampai 2017 itu lebih banyak buat program biodisel dari pada buat petani kecil,” ujar dia dalam diskusi daring - Kebijakan Biodiesel Untuk Siapa, Rabu (18/11/2020).

Dalam paparannya, Faisal memperkirakan pada 2016-2017 dana CPO sekitar USD 1,9 miliar. Dimana USD 1,5 miliar digunakan untuk program biodisel.

“Oleh karena itu, pertumbuhan produksi biodisel sepenuhnya bergantung pada ekspor minyak kelapa sawit, dan harganya yang berasiang,” ujar Faisal,

Menurutnya, jika ekspor kelapa sawitnya turun, maka dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS) juga turun. “Jadi ini ada kontradiksi. Semakin sedikit yang kita ekspor, semakin sedikit penerimaan negara dari bea sawit, ditambah juga dengan bea ekspor,” kata dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Pemerintah Lanjutkan Program B30 Demi Industri Kelapa Sawit Nasional

Pemerintah berkomitmen terus mendukung keberlanjutan pelaksanaan program mandatori biodiesel (B30). Hal ini ditunjukkan dengan penyesuaian pungutan ekspor crude palm oil (CPO) dan produk turunannya untuk menyokong keberlanjutan program B30 tersebut.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, program B30 harus terus dijalankan dengan tujuan menjaga stabilisasi harga CPO pada level harga minimal USD 600 per ton untuk menjaga harga tandan buah segar (TBS) petani sawit.

“Selain itu juga untuk mempertahankan surplus neraca perdagangan non migas yang sekitar 12 persen-nya berasal dari ekspor produk sawit dan turunannya,” ujar Menko Airlangga dalam Rapat Koordinasi Komite Pengarah Badan Pelaksana Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Selasa (27/10/2020).

Kemudian, pemerintah juga terus berupaya meningkatkan produksi perkebunan kelapa sawit rakyat. Yakni dengan mengalokasikan Dana Perkebunan Kelapa Sawit untuk 180 ribu hektare (ha) lahan di 2021.

“Target luasan lahan tersebut diikuti kenaikan alokasi dana untuk tiap hektare lahan yang ditetapkan, yaitu Rp 30 juta per ha atau naik Rp 5 juta per ha dari sebelumnya sebesar Rp 25 juta per ha,” ungkap Menko Airlangga.

Turut hadir dalam rapat tersebut adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, Menteri ESDM Arifin Tasrif, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrahman, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian Musdhalifah Machmud, serta perwakilan dari Kementerian Pertanian, Kementerian BUMN, Kementerian ATR/BPN, Kementerian PPN/Bappenas, serta pelaku usaha utama industri kelapa sawit nasional.