Sukses

Simak, Sejarah dan Manfaat Didirikannya OJK

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menjelaskan latar belakang dibentuknya OJK

Liputan6.com, Jakarta Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menjelaskan latar belakang dibentuknya (OJK) di Indonesia.

Pembentukan OJK dilakukan pada tahun 2011 berlandaskan Undang-Undang serta gagasan bahwa pengawasan sektor keuangan Indonesia harus menjadi satu dan terintegrasi.

"Jadi ini adalah spirit OJK, karena dengan terintegrasi maka sektor keuangan akan bisa menjalankan tugasnya dengan baik," ujar Wimboh dalam paparannya kepada mahasiswa secara virtual di acara OJK Mengajar, Kamis (19/11/2020).

Seperti yang diketahui, sektor keuangan Indonesia sangat beragam dan memiliki kompleksitas yang tinggi, mulai dari industri perbankan, industri keuangan non bank, industri asuransi dan lainnya.

"Ada perbankan, non perbankan, pasar modal, bahkan sekarang ada bagaimana membalance perlindungan masyarakat, ini yang hal yang harus diintegrasikan," katanya.

Menurut Wimboh, integrasi pengawasan ini menjadi kekuatan dan kelebihan OJK. Hampir seluruh lini sektor keuangan mendapatkan pengawasan yang sesuai dengan bidangnya dan tersinkronisasi dengan baik.

"Dulu fit and proper test sudah dilakukan di perbankan, tapi sekarang juga dilakukan di lembaga pembiayaan. Perlindungan konsumen juga sudah terintegrasi dan edukasinya jadi lebih gampang," katanya.

Lanjut Wimboh, dengan integrasi ini, seluruh informasi dan layanan yang diberikan kepada masyarakat dapat tersampaikan dengan mudah.

Hal ini selaras juga dengan misi OJK untuk membawa kesejahteraan masyarakat berdasarkan Undang-Undang 1945 serta perlindungan hak-hak mereka sebagai konsumen lembaga keuangan.

"Tentunya yang dilakukan ada porsinya, melalui kebijakan di berbagai sektor keuangan," katanya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

OJK Temukan 3.224 Iklan Jasa Keuangan Langgar Aturan

Periklanan produk jasa keuangan tak luput dari pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sejak Januari hingga 22 September 2020, OJK mencatat 3.224 iklan produk jasa keuangan yang melanggar. Jumlah tersebut setara 31 persen dari 10.361 iklan produk jasa keuangan.

Dilihat dari jenis pelanggarannya, 94 persen pelanggaran karena konten iklan tidak jelas. Lalu 5 persen dinilai memberikan informasi yang menyesatkan, dan 1 persen tidak akurat.

Sementara pelanggaran terjadi paling banyak di sektor perbankan, diikuti industri keuangan nonbank (IKNB), dan paling sedikit dari sektor pasar modal.

“Pelanggarannya itu iklannya nggak jelas. Ada yang mengatakan misalnya, udah pokoknya biayanya itu yang paling rendah, ini paling bagus dan sebagai ternyata tidak. Ada yang tidak akurat dan sebagainya,” kata Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Tirta Segara dalam MA Chapter Webinar Series Episode 2, Selasa (17/11/2020).

Hal ini termasuk dalam pengawasan perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) dalam berhubungan dengan konsumen, atau disebut Tirta sebagai market conduct.

Selain Itu, Tirte menyebutkan pengawasan OJK juga melingkupi transparansi produk termasuk biaya dan tarif.

Kemudian pemahaman konsumen, di mana konsumen mestinya dipastikan terlebih dahulu apakah sudah mengerti isi dari perjanjian mereka dengan jasa layanan keuangan.

Setelah benar-benar paham dan menyetujui ketentuan, konsumen dipersilakan menandatangani dokumen perjanjian sebagai tanda kesepakatan.

Lainnya, yakni perlindungan data , cara penagihan, dan penanganann pengaduan. “Jadi meskipun konsumen sudah diedukasi, sudah kita beri tahu hati-hati baca sampai paham, ini masih dirugikan juga, terus kemudian yang komplain, perlindungannya ini masih dalam koridor pengawasan market conduct,” kata Tirta.