Liputan6.com, Jakarta - Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menjelaskan bahwa realisasi investasi di luar pulau Jawa pada kuartal III 2020 meningkat tajam. Hal tersebut tak lepas dari upaya pemerintahan yang gencar melaksanakan pembangunan infrastruktur di luar pulau Jawa.
"Realisasi investasi di 2018 sampai 2019 antara luar Jawa dan Jawa masih ada gap 5 sampai 4 persen. Namun di kuartal III 2020 ini mulai berimbang, ini dampak dari gencarnya pembangunan infrastruktur di luar Jawa oleh presiden Jokowi selama 5 tahun terakhir," paparnya dalam Kongres Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Senin (23/11/2020).
Baca Juga
Bahlil mencatat, realisasi investasi di luar pulau Jawa pada kuartal III tahun ini mencapai Rp 110,4 triliun atau naik 17,9 persen secara yoy. "Sehingga, investasi di luar pulau Jawa mencapai 52,8 persen," jelasnya.
Advertisement
Sementara itu, perolehan investasi di pulau Jawa mencapai Rp 98,6 triliun atau turun 12 persen secara yoy. Sehingga investasi di pulau Jawa kali ini hanya setara 47,2 persen. "Jadi, investor tidak lagi fokus di pulau Jawa," imbuh dia.
Namun, jika dilihat dari data sebarannya, realisasi investasi tertinggi ada di Jawa Barat dengan nilai Rp 28,4 triliun, disusul DKI Jakarta sebesar Rp 22,3 triliun, Banten sebesar Rp 21,5 triliun, Jawa Timur sebesar Rp 15,5 triliun dan Riau sebesar Rp 13 triliun.
Lalu untuk Penanaman Modal Asing (PMA), Singapura menjadi negara dengan nilai investasi ke Indonesia yang terbesar, mencapai USD 2,5 miliar. Peringkat selanjutnya diikuti China dengan nilai USD 1,1 miliar, lalu Jepang mencapai USD 0,9 miliar, Hong Kong sebesar USD 0,7 miliar dan Belanda USD 0,5 miliar.
"Jadi, ukuran investasi yang berkualitas sudah tercapai, salah satunya karena investasi antara Jawa dan luar Jawa sudah berimbang. Ini juga baik untuk ciptakan kawasan ekonomi baru di luar Jawa," paparnya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
UU Cipta Kerja Dongkrak Investasi di Tengah Melambatnya Ekonomi
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menuturkan, selama ini Indonesia hanya unggul dari sisi market size saja, sementara dari sisi daya saing sektor perpajakan masih ketinggalan dari negara lain. Sehingga, Indonesia harus melakukan transformasi melalui omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja untuk meningkatkan daya saing sektor perpajakan nasional.
"Kami membuat omnibus law (UU Cipta Kerja) perpajakan karena ini (soal pajak) sangat menentukan daya tarik (bagi investor) untuk menanamkan modal, tak hanya untuk orang asing saja, tapi juga orang Indonesia (yang ingin berinvestasi), tuturnya dalam webinar bertajuk "Serap Aspirasi Implementasi Undang-Undang Cipta Kerja Sektor Perpajakan", Kamis (19/11).
Bendahara negara ini mengatakan, kepastian perpajakan sangat penting bagi dunia usaha agar bisa menciptakan playing field yang semakin baik. Alhasil Pemerintah terus mematangkan proses penyusunan Rancangan Peraturan Pelaksanaan (RPP) UU Cipta Kerja sektor Perpajakan terdiri dari 8 (delapan) pasal.
"Latar belakang hal itu disinergikan ke dalam UU Cipta Kerja agar memperkuat perekonomian nasional, meningkatkan investasi di tengah perlambatan perekonomian global supaya dapat menyerap tenaga kerja seluas-luasnya, dan mendorong kemudahan berusaha," paparnya.
Apalagi, regulasi perpajakan dalam UU kontroversial itu dinilai sejalan dengan perkembangan dunia usaha. Antara lain meningkatkan kepatuhan sukarela, memberikan kepastian hukum dan keadilan iklim berusaha. Kemudian, juga dalam rangka meningkatkan daya saing daerah, mendukung Ease of Doing Business (EoDB), dan memperkuat penyelarasan kebijakan pajak antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maka telah disusun RPP Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
"UU Cipta Kerja adalah upaya nyata dari berbagai diagnosa yang ada di Indonesia. Yaitu perlu langkah fundamental dan struktural agar bisa maju, sejahtera, dengan pendapatan yang makin adil," tuturnya.
Reporter: Sulaeman
Sumber: Merdeka.com
Advertisement