Liputan6.com, Jakarta - Kesejahteraan para nelayan tangkap lobster belum meningkat meskipun keran ekspor benih lobster (benur) dibuka. Hal tersebut terjadi karena jalan panjang rantai distribusi udang laut ini.
"Sebetulnya mereka (nelayan penangkap lobster) belum sejahtera benar," kata kata Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Rianta Pratiwi, dalam SAPA MEDIA bertema Memahami Potensi Lobster dari Perspektif Kelautan dan Sosial secara virtual, Jakarta, Senin (30/11/2020).
Baca Juga
Ada banyak rantai yang perlu ditempuh lobster untuk bisa dijual keluar negeri. Nelayan menjual ke pengepul kecil dengan harga yang murah.
Advertisement
Dari pengepul dijual lagi ke pengepul yang lebih besar. Lalu pengepul pusat baru dijual lagi ke eksportir dengan harga yang lebih mahal.
"Nelayan itu dapat Rp 5 ribu per ekor, pengepul bisa Rp 50 ribu per ekor. Kalau eksportir bisa jual sampai ratusan ribu per ekornya dan untungnya bisa sampai miliaran, tutur dia.
Belum lagi lobster tidak bisa ditangkap sepanjang tahun. Hanya pada waktu tertentu saja nelayan menangkap lobster di laut.
Maka untuk memenuhi kebutuhannya, nelayan penangkap lobster juga melakukan pekerjaan lain. Semisal bertani, berkebun atau bahkan menangkap ikan jenis lain.
"Jadi memang lobster ini belum bisa untuk kesejahteraan nelayan," kata dia.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Saksikan video pilihan berikut ini:
Peneliti LIPI: Permen KKP Nomor 12 Tahun 2020 Soal Lobster Bukan Kebijakan Buruk
Sebelumya, penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo oleh KPK terkait korupsi ekspor benih lobster (Benur) membuat Peraturan Menteri KKP Nomor 12 Tahun 2020 menjadi sorotan kembali oleh berbagai pihak.
Peneliti Kebijakan Kelautan dan Perikanan Pusat Penelitian Politik LIPI Anta Maulana Nasution menilai, Permen KKP tersebut memberikan pembaharuan ke arah pengelolaan sumber daya lobster, namun untuk sisi kebijakan ekspornya perlu dikaji ulang.
“Tidak perlu dicabut, kalau dicabut menurut saya jangan karena dengan permen ini membawa pembaharuan untuk pengelolaan sumber daya lobster tetapi yang jadi masalah adalah kebijakan ekspor benurnya,” kata Anta dalam diskusi LIPI Sapa Media #6, Senin (30/11/2020).
Anta menegaskan bahwa Permen nomor 12 tahun 2020 bukan produk kebijakan yang buruk, sebab didalamnya diatur mengenai pengelolaan, budidaya, dan penangkapan lobster yang baik untuk nelayan.
“Nah yang harus dilakukan itu revisi, kajian ulang terkait dengan kebijakan ekspor benur di pasal 5 terkait eksportir,” ujarnya.
Menurutnya sangat perlu mengkaji ulang pasal-pasal yang terdapat dalam Permen 12 tahun 2020, khususnya pasal 5 yang mengatur tentang kebijakan ekspor. Apakah benar-benar sudah dijalankan atau pasal tersebut malah membebankan eksportir.
“Perlu dikaji ulang dilihat substansi dari ayat-ayat dalam pasal 5 Permen nomor 12 tahun 2020,”katanya.
Padahal pada Permen sebelumnya yakni Permen nomor 56 tahun 2016 mengatur pencegahan terjadinya penyelundupan lobster. Lantaran pada tahun tersebut sering terjadi penyelundupan benih lobster ke negara tetangga seperti Vietnam.
“Penyelundupan itu sering terjadi misalnya ke Vietnam yang transit dulu di Singapura, Menteri Susi ngamuk-ngamuk kok bisa benur ilegal transit di Singapura diizinkan. Makannya diperketat lah Permen 56 tahun 2016 tetap saja ada yang nakal, ada oknum ASN, swasta bermain dalam penyelundupan benur ini,” jelasnya.
Ia sangat menyesalkan adanya penyalahgunaan kekuasaan oleh Menteri KKP sekarang yang terlibat dalam korupsi ekspor benur. Maka dari itu agar nelayan sejahtera, pemerintah perlu menghilangkan monopoli dan oligarki, dengan begitu nelayan bisa sejahtera.
“Tapi hilangkan monopoli harga, kargo, pengepul, pokoknya hilangkan dahulu semua monopoli, oligarki, ini penyakit utamanya adalah monopoli. Kalau monopoli ini dihilangkan perlu mengkaji kembali aktor-aktornya, kalau monopoli ini masih ada maka nelayan tidak akan sejahtera,” pungkasnya.
Advertisement