Liputan6.com, Jakarta - Penggunaan bahan bakar minyak (BBM) dengan research octane number (RON) atau beroktan rendah membawa dampak buruk bagi lingkungan. Termasuk juga pada persoalan kesehatan masyarakat hingga kepentingan perekonomian nasional.
Mengingat bebagai dampak buruk itulah, mau tidak mau peralihan penggunaan BBM RON rendah menuju RON tinggi memang harus segera diimplementasikan. Apalagi secara aturan, sebenarnya penerapan sudah harus dilakukan pada tahun lalu.
Baca Juga
"Ini berdampak kesehatan yang harus ditanggung oleh masyarakat, dan pengaruhnya juga meluas ke perekonomian juga," kata Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi WALHI Nasional Dwi Sawung dikutip Selasa (1/12/2020).
Advertisement
Ini, kata Dwi, jelas ketidakadilan sosiologis. Masyarakat harus menerima beban dan dampak atas penggunaan BBM RON rendah. BBM dengan RON rendah menyebabkan kualitas udara menjadi jauh menurun, tentu akan berpengaruh kepada ekosistem global.
"Jika kondisi tersebut terus berlanjut, maka dampaknya juga akan terus terakumulasi dan kian membesar," beber dia.
Di Jakarta misalnya, kondisi kualitas udara pada lima hingga 10 tahun depan dianggap banyak pihak mulai mengkhawatirkan. Terlebih dengan jumlah kendaraan bermotor yang kian bertambah, bahkan hampir sama dengan jumlah penduduknya.
"Saat ini sudah terjadi krisis iklim. Kalau semua tidak aware dengan kondisi seperti ini, tentu ke depan bakal semakin massif," ungkap dia.
Karena itu peningkatan kualitas BBM ini sudah menjadi kebutuhan yang sangat mendesak dan krusial. Di lain pihak, secara sosiologis, lanjut dia menjelaskan bahwa konsumsi BBM RON rendah mengakibatkan ketidakadilan sosiologis yang dampaknya baru akan bisa dirasakan dalam jangka panjang.
"Karenanya perlu ada komitmen bersama antara pemerintah dan masyarakat untuk dapat mulai beralih pada BBM dengan RON tinggi yang lebih ramah lingkungan," ucap dia.
Bila mengabaikan lingkungan, yang antara lain tetap memakai BBM RON rendah, sama saja dengan bencana. Masyarakat, kata dia, yang harus menerima beban sosiologis itu.
Dampak buruk tersebut, kata dia, karena sektor transportasi memang menjadi penyumbang yang cukup signifkan terhadap polusi udara.
Ada sekitar 40 persen total emisi, merupakan kontribusi dari sektor tersebut. Dampak buruk makin dirasakan di berbagai kota besar, seperti Jakarta.
"Ada sulfur dan juga hidrokarbon yang jauh lebih banyak dibandingkan BBM RON tinggi," ungkap dia.
Untuk itu, Koordinator Indonesia Energy Watch (IEW) Adnan Rarasina melanjutkan, BBM oktan rendah seharusnya segara dihapus.
Apalagi, lanjutnya, di pasar internasional juga tidak ada lagi yang menjual bensin RON 90 maupun RON 88.
"Ini moment yang baik untuk mengurangi Pertalite sekalian. Tidak ada di dunia jual bensin di bawah RON 90 kecuali tujuh negara termasuk Indonesia," ujar dia.
Bila BBM dengan RON rendah, maka pemerintah bisa menjual bensin dengan kualitas baik dan tentuny harus didukung dengan harga BBM yang murah.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pengurangan Konsumsi BBM Oktan Rendah Penting demi Atasi Polusi Udara
Penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak ramah lingkungan yang tinggi dan tidak memenuhi standar Euro menjadi pemicu utama polusi kota-kota di Indonesia.
Mayoritas kendaraan masih menggunakan jenis BBM berkualitas rendah seperti premium, atau BBM lain yang kandungan sulfurnya lebih dari 500 ppm.
Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan mengatakan, program langit biru dicanangkan oleh pemerintah dengan mendorong BBM ramah lingkungan, harus didukung.
Caranya, dengan dengan mengurangi distribusi dan penjualan jenis BBM yang tidak ramah lingkungan, terutama BBM Premium.
"Karena sudah mendesak, meniadakan penjualan jenis BBM premium di Kota Jakarta dan Bodetabek, dan membatasi dengan ketat untuk daerah lainnya di Jawa, dan luar Pulau Jawa. Peniadaan BBM premium atau jenis BBM lain yang tidak ramah lingkungan, bukan saja urgen untuk mengurangi tingginya polusi di Jakarta, tetapi juga menjaga kesehatan masyarakat," kata dia di Jakarta, Kamis (2/7/2020).
Meski demikian, Mamit berpendapat bahwa posisi Pertamina sebagai perusahaan BUMN tetap pada penugasan yang di berikan oleh pemerintah. Mereka sebagai BUMN akan mendukung apapun kebijakan pemerintah terkait hal ini.
"Selain kebijakan pemerintah pusat, saya kira pemerintah daerah pun bisa meminta kepada Pertamina untuk tidak menyalurkan Premium ke wilayah mereka, jika memang masyarakatnya siap untuk tidak menggunakan Premium," jelas dia.
Namun, pada sisi ini dirinya tetap mengingatkan bahwa ada beban yang harus di tanggung pemerintah terkait dengan dana kompensasi tersebut untuk Premium.
"Saya kira edukasi sangat penting dan masyarakat kita juga sudah cukup banyak yang paham terkait dengan penggunaan BBM dengan oktan yang tinggi. Proses edukasi ini sangat baik saya kira yang dilakukan oleh Pertamina dan pemerintah untuk beralih ke bbm ron tinggi," kata Mamit.
Sementara di sisi lain, Mamit menyambut baik dengan Langit Biru. Program ini menurutnya sangat baik.
"Langit biru menjadi keharusan sesuai dengan peraturan KLHK. Makanya program ini harus dilakukan secara bertahap sehingga bisa semua daerah bisa dilakukan," jelas dia.
Advertisement