Liputan6.com, Jakarta - Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto mengatakan stigma Indonesia negara kaya minyak dan gas sudah tak lagi cocok. Sebab, sejak tahun 1998 produksi minyak di Indonesia terus mengalami penurunan. Sehingga pada tahun 2003 Indonesia menjadi negara pengimpor minyak.
"Sejak tahun 2003, Indonesia telah menjadi negara net importir minyak," kata Dwi Soetjipto dalam pembukaan 2020 International Convention on Indonesian Upstream Oil & Gas secara virtual, Jakarta, Rabu (2/12/2020).
Baca Juga
Tren penurunan produksi minyak pun terus berlanjut hingga saat ini. Telah banyak juga upaya yang dilakukan untuk menahan laju penurunan.
Advertisement
Dwi menilai sudah saatnya dilakukan perubahan pola pikir dan kemauan untuk keluar dari zona nyaman. Namun upaya tersebut hanya menjadi bisnis seperti biasanya.
"Harus kita sadari tanpa adanya perubahan mindset dan kemauan untuk keluar dari zona nyaman, upaya-upaya tersebut hanya menjadi business as usual," kata dia.
Untuk itu industri hulu migas kata Dwi akan berusaha mewujudkan target pencapaian produksi 1 juta barel minyak per hari. Lalu 12 miliar standar kaki kubik gas per hari di 2030, atau total sebesar 3,2 juta barel setara minyak per hari. Bila ini sukses terwujud akan menjadi produksi migas terbesar yang pernah ada.
"Jika target ini tercapai, maka sektor hulu migas akan mencatat rekor produksi migas terbesar sepanjang sejarah Indonesia," kata dia.
Dwi berharap, dalam konvensi ini diharapkan dapat menjadi platform bagi titik balik perubahan mindset Industri Hulu Migas. Agar yang lebih mengedepankan pola kerja ekstra-normal, cara kerja luar biasa, smart shortcut dan berorientasi hasil.
Sehingga Visi Industri Hulu migas untuk mengoptimalkan potensi hulu migas yang masih sangat besar, yang tersusun dalam Rencana Strategis (Renstra) IOG 4.0 dapat tercapai.
Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Investor Ogah-ogahan Investasi Kilang Minyak di Indonesia, Ini Sebabnya
PT Pertamina (Persero) mengakui sulitnya tarik investor dalam proyek pengembangan dan pembangunan kilang BBM di Indonesia.
SVP Strategic & Investment Pertamina Daniel Purba mengatakan, minat investasi kilang bergantung pada margin yang diberikan. Karena minimnya margin dari bisnis kilang ini, maka menurutnya belum cukup menarik minat investor untuk berinvestasi di sektor hilir minyak ini.
"Jadi, kalau selisih harga antara produk jadi dengan bahan bakunya itu semakin kecil, artinya pengolahan minyak mentah untuk produksi BBM pun menjadi less attractive bagi pelaku ekonomi," kata dia dalam dalam webinar INDEF - Proyeksi Ekonomi Indonesia 2021, Senin (30/11/2020).
Daniel menjelaskan, minimnya margin ini disebabkan oleh penurunan permintaan BBM sebesar 0,7 juta barel per hari pada kuartal II-2020 dibandingkan dengan level pada kuartal IV-2019.
Mengacu pada kondisi itu, stok BBM menjadi tinggi dan membuat sistem kilang menurunkan crude runs ke level 0,7 juta barel per hari dan menurunkan utilisasi sebesar 16 persen.
"Dengan rendahnya crack spread yang ada ini sangat mempengaruhi investor untuk berinvestasi membangun kilang karena tingkat margin yang didapatkan lebih kecil dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya dimana crack spread masih tinggi," ungkap dia.
Daniel menambahkan, dalam fase pemulihan ekonomi dua tahun kedepan, pihaknya memperkirakan margin harga bahan baku dan produk jadi BBM masih tetap rendah. Sehingga ini akan menjadi tantangan berat bagi bisnis kilang.
Karena itu, Daniel mengatakan pihaknya perlu mengupayakan optimasi margin dan jenis produk. Antara lain dengan mengendalikan tingkat produksi kilang untuk mitigasi kelebihan produk kilang, serta memilih menurunkan level inventory minyak mentah domestik dengan cara menyerap atau ekspor.
"Jadi, dengan rendahnya permintaan membuat harga produk lebih rendah, sehingga margin bisnis yang makin kecil ini bisa berdampak pada iklim investasi dalam pembangunan kilang-kilang di dunia," kata dia.
Advertisement