Sukses

Dilema Pemerintah Hadapi Bisnis Sektor Energi

Penurunan permintaan energi fosil di Indonesia terjadi karena terjadi perubahan paradigma yang besar di dunia

Liputan6.com, Jakarta Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto mengatakan penurunan permintaan energi fosil di Indonesia terjadi karena terjadi perubahan paradigma yang besar di dunia. Saat ini berbagai negara termasuk Indonesia mulai beralih menggunakan energi bersih yang berasal dari Energi Baru Terbarukan (EBT).

"Dunia memang berubah luas biasa terkait renewable energi. Ditambah covid, maka demand energi fosil jadi turun," kata Sugeng dalam diskusi panel bertajuk Improving Oil and Gas Invesment Climate to Achieve Energy Security via Increasing Reserves & Production, Jakarta, Rabu (2/12/2020).

Terbukti dari disepakatinya Perjanjian Paris oleh berbagai negara dunia yang memuat berbagai ketentuan dalam mewujudkan penggunaan energi EBT. Di tahun 2025 penggunaan EBT di Indonesia telah disepakati akan mencapai 23 persen.

Sementara itu, penggunaan minyak dan gas sebesar 47 persen, masing-masing 25 persen untuk minyak dan 22 persen untuk gas. Begitu juga di tahun 2050 mendatang yang juga sangat berpengaruh terhadap bisnis di sektor migas baik di hulu dan di tengahnya.

"Semua sangat berpengaruh terhadap situasi di sektor migas baik hulu dan midstream-nya dan downstream-nya," kata dia.

Di hulu, sektor migas tetap membutuhkan investasi yang besar meskipun penggunaannya hanya 47 persen. Namun secara aktual, volumenya akan tetap terus meningkat.

"Untuk hari ini ada 1,6 juta barel per hari, di 2030 bisa 2 juta barel per hari," kata dia.

Namun, di sisi lain Indonesia harus menurunkan peningkatan cadangannya. Sehingga yang terjadi gap dengan kapasitas produksinya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Butuh Kepastian Regulasi

Pada akhirnya, posisi regulasi pun dipertanyakan. Kritik akan ketidakpastian hukum pun berdatangan. Upaya hukum lewat jalur Mahkamah Konstitusi pun telah dilakukan untuk menghapuskan pasal-pasal hanya tidak sesuai.

"Intinya adalah agar ada undang-undang migas yang baru," kata Sugeng.

Sisi lain di tengah terjadi kekosongan regulasi, ada aspek lain bisnis harus berjalan. Harus ada regulasi yang fleksibel misalnya untuk skema bisnis.

Saat ini operator bisa memilih menggunakan biaya pemulihan atau sistem bagi hasil. Dua pilihan tersebut yang akhirnya diawasi DPR saat ini.

"Hari ini bagi kami di Komisi VII lebih mengawasi jalannya proses itu," kata dia.

Tak hanya itu, DPR juga akan segera mengeluarkan dan mempercepat lahirnya undang-undang migas. Memang, tambahnya, dalam kerangka bangsa, segala proses bisnis dan migas ini harus tetap berpijak pada konstitus.

"Inilah yang terus menerus menjadi pegangan kita bagaimana kita mengawasi bisnis kita," kata dia mengakhiri.

Merdeka.com