Liputan6.com, Jakarta - Hasil investigasi yang dilakukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menunjukkan, masalah antara masyarakat dan perusahaan pembiayaan (fintech) terjadi di masa sandbox. Periode sandbox ini merupakan rangkaian proses mendapatkan izin bagi perusahaan fintech kepada OJK.
"Sepanjang periode sandbox ini banyak persoalan yang terjadi. Mungkin salah satunya kasus fintech yang sering terjadi akhir-akhir ini," kata Ketua BPKN Rizal Edy Halim dalam Forum Diskusi Salemba dengan tema Menimbang Peran OJK dalam Menjamin Regulasi Perlindungan Konsumen Industri Keuangan Era Pandemi Covid-19, Jakarta, Selasa (8/12/2020).
Rizal menuturkan periode ini merupakan salah satu masa bagi OJK untuk menentukan pemberian izin bagi perusahaan pembiayaan. Setelah perusahaan pembiayaan mendaftar ke otoritas, OJK akan memberi masa percobaan selama satu tahun yang disebut sandbox.
Advertisement
Usai masa ujicoba ini berakhir, OJK lalu melakukan evaluasi. Bila sudah sesuai kriteria yang telah ditetapkan, barulah OJK akan memberikan izin bagi perusahaan tersebut.
"Jadi mendaftar dulu, ada periode satu tahun yang mereka boleh beroperasi. Setelah dievaluasi OJK, nanti diputuskan diberi izin atau tidak," tutur Rizal.
Sayangnya kata Rizal, selama masa percobaan ini banyak pelanggaran yang dilakukan perusahan pembiayaan. Umumnya pelanggaran terhadap hak konsumen.
"Dalam proses ini banyak pelanggaran terhadap hak-hak konsumen," kata dia.
Sehingga, menurutnya proses uji coba ini perlu kembali dievaluasi. "Ini nanti akan kita bangun komunikasinya dengan kasus yang ada di masa sandbox ini," kata dia.
Adapun beberapa persoalan P2P Lending di Indonesia yang tercatat di BPKN antara lain keberadaan perusahaan yang ilegal dan melakukan penagihan utang dengan intimidasi dan melanggar hak privasi dari nasabah selaku konsumen. Konsumen mendapat denda tagihan dengan bunga yang sangat besar.
Sistem keamanan yang belum memberikan hak atas kenyamanan kepada nasabah. Sehingga di era digital ini sangat memungkinkan penyalahgunaan informasi secara mudah atau kebocoran data.
Sebagai informasi, saat ini hanya ada 155 perusahaan pembiayaan yang terdaftar atau berizin di OJK. Sementara itu sejak tahun 2018, Satgas Waspada Investasi sudah menghentikan 2.840 entitas fintech peer to peer (P2P) yang tidak memiliki izin dari OJK.
Anisyah Al Faqir
Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Asosiasi Fintech Targetkan Penyaluran Kredit Rp 86 Triliun di 2021
Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) memproyeksikan total pinjaman yang akan tersalur di 2021 sekitar Rp 86 triliun.
Direktur Eksekutif AFPI, Kuseryansyah menjelaskan, angka tersebut sebenarnya merupakan proyeksi pada tahun 2020 sebelum adanya Covid-19. Setelah ada covid-19, AFPI melakukan koreksi terhadap proyeksi tahun 2020 di kisaran Rp 65 triliun.
Namun, industri fintech ini nampaknya cukup bisa beradaptasi dengan tren digitalisasi yang berlangsung selama pandemi Covid-19. Sehingga pemulihannya juga jug relatif cepat. Dalam catatannya, Kuseryansyah menyebutkan displacement pada Oktober 2020 telah mencapai Rp 8,9 triliun.
“Kami yakin di 2021 angka Rp 86 triliun itu angka yang minimal bisa dilakukan displace oleh industri. Tentu saja dengan sangat memperhatikan aspek manajemen resiko, perlindungan konsumen dan lain-lain. Jadi angka itu adalah angka yang sangat realistis kita wujudkan di tahun 2021,” ujar Kuseryansyah, Senin (7/12/2020).
Apalagi, lanjut dia, saat ini fintech P2P lending sudah menjadi mita bagi beberapa bank dalam penyaluran program pemulihan ekonomi nasional. Kuseryansyah mengatakan, saat ini ada 6 platform yang sudah ikut program pemulihan ekonomi nasional (PEN).
“Kedepan saya yakin ini akan semakin banyak, sekarang sedang proses komunikas dengan perbankan dan kami juga komunikasi debgan komite pemulihan ekonom inasional, bagaimana supaya penyepenggara fintech P2P lending bisa lebih aktif bisa menjadi mesin akselerasi penyaluran program PEN,” pungkas dia.
Advertisement