Sukses

Penyesuaian Tarif Baru Dukung Keberlanjutan Industri Sawit Nasional

Aspek keberlanjutan terlihat jelas dari dasar pertimbangan penyesuaian tarif layanan pungutan ekspor.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melalui Menteri Keuangan telah menyesuaikan tarif pungutan ekspor produk kelapa sawit, sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191/PMK.05/2020 tentang Perubahan PMK Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Pengenaan tarif baru tersebut mulai berlaku pada 10 Desember mendatang.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan, kehadiran PMK anyar itu telah dinantikan oleh seluruh pihak terkait di industri sawit nasional. Mengingat beleid tersebut memberikan perhatian lebih pada aspek keberlanjutan.

"Orang jangan hanya melihat jangka pendek itu ngeri. Coba kita berfikir jangka panjang untuk keberlanjutan, 8 menteri di sana duduk bersama untuk mengambil satu keputusan, itu luar biasa menghadirkan satu PMK dengan pola yang digambarkan untuk industri sawit," terangnya dalam webinar bersama Kemenko Perekonomian, Selasa (8/12).

Sahat menjelaskan, aspek keberlanjutan terlihat jelas dari dasar pertimbangan penyesuaian tarif layanan pungutan ekspor ialah positif harga CPO. Serta keberlanjutan pengembangan layanan dukungan pada program pembangunan industri sawit nasional dengan memakai penambahan dana yang dikelola BPDPKS akibat penyesuaian tarif pungutan ekspor sawit.

"Layanan tersebut antara lain perbaikan produktivitas di sektor hulu melalui peremajaan perkebunan kelapa sawit, serta penciptaan pasar domestik melalui dukungan mandatori biodiesel," terangnya.

Lalu, dukungan pemerintah terhadap hilirisasi produk kelapa sawit juga terus dilakukan, baik untuk sektor industri dengan mendorong perkembangan industri oleokimia, maupun pada skala kecil di tingkat petani. "Yakni melalui dukungan pembentukan Pabrik Kelapa Sawit Mini yang dikelola oleh Koperasi/ Gabungan Kelompok Tani," ujar dia.

Tak hanya itu, PMK anyar juga mengakomodir upaya peningkatan kesejahteraan petani dengan peningkatan kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM). Diantaranya melalui pemberian beasiswa bagi anak-anak dan keluarga petani kelapa sawit, serta pelatihan bagi petani dan masyarakat umum.

Program pengembangan SDM yang diberikan terutama terkait program pengembangan Good Agricultural Practice (GAP) dan penunjang keberlanjutan (sustainability) usaha/industri sawit. Untuk itu, ke depan dengan adanya tambahan dana yang dikelola akibat penyesuaian tarif pungutan ekspor diharapkan agar BPDPKS dapat meningkatkan layanannya.

"Inilah saya fikir sebagai momentum bahwa sudah saatnya pemerintah terus menjaga keberlangsungan sawit sebagai salah satu produk unggulan Indonesia. Jadi, sudah seharusnya kita bersatu padu menjadikan sawit sebagai komoditas andalan," tutupnya.

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Penyesuaian Tarif Baru Pungutan Ekspor Dorong Hilirisasi Industri Sawit Nasional

Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Bernard Riedo menyambut baik keputusan pemerintah atas penyesuaian tarif pungutan ekspor produk kelapa sawit yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191/PMK.05/2020 tentang Perubahan PMK Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

Menurutnya, dengan penyesuaian tarif baru itu memicu hilirisasi di industri kelapa sawit naisonal. Mengingat tarif baru ditetapkan secara progresif dengan 15 klasifikasi tarif untuk 24 kelompok produk sawit dan turunannya.

"Jadi, kami secara umum dari GIMNI menyampaikan apresiasi positif dan mendukung penuh atas PMK 191 tersebut karena mendukung kebijakan terkait hilirisasi. Tarif baru pungutan ekspor sawit dengan besaran maksimum USD 255 per ton tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 191/ PMK.05/2020. PMK No 191 diundangkan pada 3 Desember 2020 yang berlaku mulai 10 Desember 2020," ujar dia dalam webinar berkaitan Pungutan Ekspor Sawit, Rabu (9/12).

Dalam beleid tersebut, Kementerian Keuangan menetapkan 15 ambang batas harga CPO atau klasifikasi tarif, dengan kisaran harga USD 670-995 per ton. Sementara dalam aturan sebelumnya, PMK No 57 Tahun 2020 yang berlaku 1 Juni 2020, tidak diatur tentang ketentuan ambang batas penentuan pungutan ekspor sawit.

Misalnya, penetapan pungutan ekspor berdasarkan PMK No 191, jika ambang batas harga CPO di bawah atau sama dengan USD 670 per ton, pungutan ekspor untuk komoditas CPO ditetapkan sebesar USD 55 per ton. Apabila ambang batas di atas USD 670-695 per ton maka pungutan ekspor yang dikenakan USD 60 per ton. Jika ambang batas di atas USD 695 -720 per ton maka pungutan ekspor yang dikenakan USD 75 per ton.

"Demikian seterusnya hingga ambang batas tertinggi di atas USD 995 per ton, berarti pungutan ekspor untuk komoditas CPO adalah sebesar USD 255 per ton. Semakin ke hilir produk sawit tersebut maka pungutan ekspor yang dikenakan semakin kecil," tutupnya.

Sebelumnya, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Eddy Abdurrachman mengatakan, penyesuaian tarif pungutan ekspor tersebut merupakan tindak lanjut keputusan Komite Pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang diketuai Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Pengenaan tarif baru tersebut mulai berlaku pada 10 Desember 2020, atau 7 hari setelah diundangkan pada 3 Desember 2020.

"Nantinya besaran tarif pungutan ekspor produk kelapa sawit termasuk Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunannya akan ditetapkan berdasarkan harga referensi Kementerian Perdagangan dengan cut off perhitungan pungutan tarif tersebut adalah tanggal penerbitan Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB)," ujar dia dalam webinar bersama Kemenko Perekonomian, Selasa (8/12).

Dia menyebut, dasar pertimbangan penyesuaian tarif layanan pungutan ekspor adalah tren positif harga CPO, dan keberlanjutan pengembangan layanan dukungan pada program pembangunan industri sawit nasional. Layanan tersebut antara lain perbaikan produktivitas di sektor hulu melalui peremajaan perkebunan kelapa sawit, serta penciptaan pasar domestik melalui dukungan mandatori biodiesel.

"Sehingga kebijakan ini juga akan terus dilakukan evaluasi setiap bulannya untuk dapat merespon kondisi ekonomi yang sangat dinamis pada saat ini," tutupnya