Liputan6.com, Jakarta - Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan agar dewan energi nasional dilantik oleh Presiden. Hal ini dimaksudkan agar kebijakan ke depan menjadi selaras dengan implementasinya.
“Saya mendorong agar dewan energi nasional itu dilantik oleh Presiden supaya krbjakan tetang energi benar-benar menjadi kata putus yang mengikat semua pihak,” ujar anggota komisi VII DPR, Sugeng Suparwoto dalam Oil & Gas Stakeholders Gathering, Rabu (9/12/2020).
Baca Juga
“Karena secara konsep besar kita sudah paham tetapi begitu implementasi kadang kedodoran,” sambung dia.
Advertisement
Di sisi lain, Sugeng membeberkan bahwa lembaga ini sempat mati suri sekitar 1,5 tahun. Padahal, dewan energi nasional mestinya melakukan pengawasan terhadap tata kelola sektor energi. Sehingga tak jarang kebijakan dan implementasinya berjalan tak selaras.
“Alhamdulolah dewan energi nasional sudah terbentuk, yang sudah mati suri 1,5 tahun lebih, 2 hari lalu sudah kita paripurnakan yang mewakili pemangku kepentingan. Insyaallah, dewan energi nasional inilah yang akan secara komprehensif berkebijakan,” kata Sugeng.
Apapun DEN ini, lanjut Sudeng, diketuai oleh Presiden, sebagai wakil adalah Wakil Presiden, dan pelaksana hariannya adalah menteri ESDM.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kaya Sumber Energi, Indonesia Masih Berstatus Negara Importir
Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Budi Sadikin mengatakan keseimbangan penggunaan energi di Indonesia kurang tepat. Alasannya, meski Indonesia merupakan negara surplus energi sejak 50 tahun terakhir, namun sebagian besar penggunaan energi justru harus impor dari luar negeri.
"Kita surplus energi dalam 50 tahun terakhir, tapi sayangnya kita mengalami ketidaksesuaian energi," kata Budi dalam Global Energy Transitions and The Implications For Indonesia, Jakarta, Rabu, (9/12).
Padahal, lanjut Budi, tidak semua negara di dunia diberkahi surplus energi, selaiknya Indonesia. Tiga sumber energi Indonesia yang melimpah antara lain batu bara, minyak dan gas.
Namun faktanya batu bara yang ada di Indonesia diekspor keluar negeri. Kemudian mengimpor minyak mentah untuk digunakan untuk transportasi dan gas LPG untuk digunakan di sektor rumah tangga.
Budi menuturkan, konsumsi energi terbesar di Indonesia digunakan untuk transportasi. Semua alat transportasi yang digunakan di Indonesia 100 persen menggunakan minyak.
"Ini ada ketidaksesuaian energi. Kita kekurangan minyak, makanya kita impor dari luar," kata dia.
Konsumsi energi terbesar kedua yakni sektor industri. Penggunaan energi di sektor ini disebut jauh lebih baik karena penggunaanya mencapai 29 persen. Penggunaan energi di industri juga berasal dari sumber energi yang ada di Indonesia, tidak seperti sektor transportasi yang mengandalkan minyak 100 persen.
Komponen penggunaan energi terbesar lainnya konsumsi rumah tangga. Sektor ini menggunakan 15 persen energi yang setara 1.000 barel minyak. Sayangnya dari jumlah tersebut 50 persen diantaranya menggunakan gas LPG yang juga merupakan energi impor.
"Dari 15 persen ini, 50 persen ini pakai LPG yang kita tidak punya," kata dia.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Advertisement