Liputan6.com, Jakarta Salah satu parameter utama transaksi mencurigakan adalah ketidaksesuaian profil pengguna jasa, baik profil diri maupun keuangan dengan transaksi. Sebab itu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menilai perlu ada pendeteksian awal terhadap aliran uang mencurigakan yang berasal dari tindak pidana korupsi.
Di mana, pelapor perlu mengetahui profil pengguna jasanya untuk mengidentifikasi kewajaran transaksi yang dilakukan.
Baca Juga
Kepala PPATK Dian Ediana Rae meminta pelaku jasa keuangan dapat melakukan pencarian identitas nasabah. Apakah yang bersangkutan terdeteksi sebagai Politically Exposed Persons (PEPs), yakni pejabat negara atau orang-orang berpengaruh di partai politik yang punya peluang untuk melakukan korupsi hingga pencucian uang.
Advertisement
"PEPs ini menunjukan kepada pejabat, pemegang kekuasaan politik, atau mantan pengurus partai politik dan lain sebagainya yang dikatakan hampir di seluruh dunia, bahwa yang namanya Politically Exposed Persons adalah person atau korporasi adalah mereka yang terekspos dengan berbagai aktivitas publik yang memang memerlukan perhatian khusus," jelas dia dalam sesi teleconference, Kamis (10/12/2020).
Menurut dia, pengidentifikasian profil pengguna jasa jadi pintu pertama bagi pihak lapor untuk menentukan kewajaran suatu transaksi. Jika gagal melacak hal tersebut, maka akan menyebabkan pelapor tak bisa menilai kewajaran transaksi, sehingga berdampak pada kegagalan pelaporan ke PPATK.
"Profil yang tidak benar dari pengguna jasa akan menyebabkan proses analisa menjadi tidak tepat, yang pada akhirnya PPATK tidak dapat memberikan informasi kepada penyidik. Demikian juga halnya bagi penyidik yang sangat membutuhkan profil dari pengguna jasa dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi," ungkapnya.
Â
Â
Â
Saksikan Video Ini
Masih Jadi Hal Sulit
Selama ini, ia menuturkan, proses penyingkapan transaksi mencurigakan di Indonesia menjadi suatu hal yang sangat sulit.
Salah satu penyebab utama, ada kecenderungan pengguna jasa keuangan seperti bank tak ingin membuka data dirinya secara blak-blakan.
"Kadang-kadang orang datang dirinya sebagai bupati. Ketika ditanya pekerjaannya dia mengaku, oh saya wiraswasta. Ketika bank menerima itu sebagai suatu kebenaran, maka itu akan dicantumkan sebagai swasta, maka otomatis tidak akan masuk ke dalam kategori high risk. Sehingga pengawasan yang dilakukan oleh bank menjadi tidak terlalu strong," tandasnya.
Advertisement