Sukses

Dahlan Iskan Pilih Vaksin Sinovac daripada Pfizer, Ini Alasannya

Dahlan Iskan berbagi cerita tentang pandangannya tentang perbedaan vaksin Covid-19 Sinovac dari China dengan vaksin Pfizer dari AS.

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan mengaku lebih memilih vaksin Sinovac dari perusahaan farmasi asal China, Sinovac Biotech dibanding vaksin Pfizer buatan perusahaan farmasi Amerika Serikat (AS).

Dirinya menyoroti dalam hal model pembuatannya. Menurutnya, vaksin Sinovac berasal dari virus Covid yang dilemahkan. Sedang vaksin Pfizer dari modifikasi gen.

“Tentu saya memilih Sinovac. Dibanding Pfizer. Dengan logika saya sendiri. Tentu saya bukan ahli menilai. Apalagi menilai obat, termasuk vaksin. Tentu saya tidak anti modifikasi gen. Kalau vaksin yang ada, misalnya, hanya yang modifikasi itu saya pun akan menjalaninya,” kata Dahlan dikutip dari catatannya di website disway.id, Senin (14/12/2020).

Kendati begitu, apabila vaksin yang tersedia hanya vaksin yang merupakan hasil modifikasi gen, ia  mengaku akan tetap memakainya, yang terpenting pandemi Covid-19 ini cepat berakhir. Jangan mengulangi pandemi tahun 1918 yang korbannya sepertiga penduduk seperti Flu Spanyol.

Dahlan bercerita, seperti di awal tahun 1900-an. Para ahli di Inggris meramalkan punahnya manusia akibat kekurangan pangan yang berat. Itu didasarkan statistik pertumbuhan penduduk dibanding produksi pangan dunia.

Tapi seorang ahli di Jerman, Yahudi, kemudian menemukan cara pembelahan 'N: Itulah awal dari ditemukannya pupuk Yang bahan bakunya dari udara. Yang kita pakai sampai sekarang. Yang membuat pabrik pupuk kaya raya dan petani tetap miskin. Tapi, kenyataannya, produksi pangan bisa melebihi kebutuhan -tinggal punya uang atau tidak untuk membelinya.

“Kini juga sudah ditemukan bahan baku kertas yang tidak usah dari serat kayu. Minggu lalu saya mengikuti publikasi penemuan itu secara online, dari Tiongkok.Di sana sudah ditemukan bahan baku kertas yang baru: batu, Yang dilembutkan menjadi tepung yang amat halus. Lalu dicampur dengan berbagai ramuan,” jelasnya.

Selain itu, penemuan di bidang cocok tanam pun akan terus meroket. Pertanian yang tanpa lahan itu. Termasuk bisa "menanam" telo rambat (ubi jalar) yang umbinya bergelantungan di udara. Seperti yang sudah sukses diuji coba di Henan, Tiongkok.

Begitupun dari sisi modifikasi gen tanaman juga akan terus dilakukan. Ia mencontohkan pada komoditas kedelai di Amerika Serikat. Hasilnya tiap kilogram kedelai modifikasi gen ini bisa membuat tempe lebih banyak dibandingkan kedelai biasa.

Jenis kedelai DMO itu di Amerika untuk makanan ternak dan yang kita impor, apa boleh buat untuk membuat tempe tiap kilogram kedelai jenis ini bisa menjadi tempe lebih banyak. Kedelainya besar-besar.

Dahlan mengaku lebih suka makan tempe dari kedelai lokal dibanding hasil modifikasi, hal itu serupa dengan  vaksin covid-19, ia lebih memilih vaksin Sinovac dibanding Pfizer.

“Sikap saya terhadap vaksin juga seperti menghadapi sajian tempe di meja makan. Kalau ada yang asalnya dari kedelai yang bukan modifikasi saya pilih itu. Kalau adanya hanya tempe dari kedelai hasil modifikasi ya saya makan juga,” katanya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Banyak Penolakan

Selanjutnya, Dahlan berbicara soal penolakan vaksin di negara Barat adalah soal modifikasi gen itu. Yang anti modifikasi gen tanaman saja begitu banyak. Apalagi ini modifikasi gen manusia, kata Dahlan.

“Tanpa itu pun penolakan terhadap program vaksinasi pasti ada Tenang saja. Itu bukan menunjukkan warga kita terbelakang. Di Amerika atau Inggris atau negara maju lainnya juga banyak yang menolak vaksinasi,” ujarnya.

Bahkan penolakan vaksinasi seperti itu sudah terjadi sejak 100 tahun lalu. Misalnya yang di kota Rio de Janeiro, Brasil Batikan di sana sampai terjadi kerusuhan besar. Yang asalnya dari pro-kontra vaksinasi cacar. Hampir saja pemerintah Brasil terguling akibat kerusuhan itu.

Salah satu isu besarnya adalah vaksinasi cacar itu membuat kecantikan kulit rusak seumur hidup. Yakni kulit yang digores untuk vaksinasi itu. Yang biasanya di lengan atas itu. Rupanya, bagi masyarakat yang budayanya mengenakan baju you can see, cacat akibat cacar itu sangat merisaukan.

“Di lengan saya pun bekas vaksinasi cacar itu masih ada sampai usia setua ini. Tentu vaksinasi Covid tidak merusak kecantikan seperti cacar di zaman dulu. Tapi vaksin yang berasal dari virus yang dilemahkan tetap lebih menarik bagi saya. Sejarah pemakaiannya sudah begitu panjang untuk begitu banyak wabah di masa lalu,” pungkasnya.