Sukses

Beda dengan Jepang, BPKN RI Tak Berwenang Eksekusi Pengaduan Konsumen

BPKN Indonesia belum memiliki kewenangan mengeksekusi sengketa yang terjadi antara konsumen dan produsen barang atau jasa.

Liputan6.com, Jakarta - Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Indonesia belum memiliki kewenangan mengeksekusi sengketa yang terjadi antara konsumen dan produsen barang atau jasa. Hal ini berbeda dengan negara-negara lain yang telah memberikan kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan kepada lembaga sejenisnya.

Ketua Komisi Kerjasama dan Kelembagaan, BPKN Lasmini mengatakan dalam undang-undang yang menjadi acuan BPKN hanya memberikan penugasan seperti memberikan rekomendasi dengan kebijakan pada perlindungan konsumen.

"Ini tentu berbeda dengan ketentuan atau undang-undang yang ada di negara lain seperti Australia, Jepang dan Korea," kata Lasmini dalam Catatan Akhir Tahun BPKN 2020, Jakarta, Senin (14/12).

BPKN di Australia, Jepang dan Korea kata Lasmini memiliki kewenangan tidak hanya memberikan perlindungan dan edukasi. Melainkan sampai dengan mengeksekusi sengketa atau permasalahan yang terjadi antara konsumen dan pelaku usaha.

Keterbatasan ini terjadi karena Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen belum bisa mengakomodir kewenangan tersebut. Sehingga pihaknya mendorong pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan agar segera membahas revisi UU Perlindungan Konsumen dengan memasukkannya ke dalam UU prioritas.

"Undang-Undang yang dipakai ini tahun 1999, ini asih terlalu lama dan sudah tidak sesuai dengan perkembangam zaman," kata dia.

Dengan adanya kewenangan ini nantinya BPKN akan bisa menyelesaikan permasalahan dari awal sampai akhir. Tak hanya sengketa di dalam negeri tetapi juga permasalahan yang terjadi lintas negara.

Ketua BPKN, Rizal Edy Halim menambahkan pembahasan tentang kewenangan eksekusi ini juga telah diajukan sejak masa fit and proper tes di Komisi VI DPR RI. Badan legislatif ini pun hanya memberikan saran untuk berkonsultasi kepada lembaga yudikatif.

"Poin dari masukan legislatif, BPKN selayaknya dikasih hak eksekutorial dengan konsultasi dengan yudikatif," kata dia.

Selain masih menunggu dari DPR, kewenangan eksekusi sengketa juga masih terganjal dengan berbagai regulasi sejenis di beberapa lembaga terkait. Sebagian regulasi ternyata sudah diatur dalam UU OJK dan UU ITE. Pemerintah Daerah juga memiliki aturan tersendiri. Sehingga yang perlu dilakukan dengan integrasi regulasi.

"Memang ini tugas kami dan sudah menjadi diskursus untuk melakukan integrasi regulasi, ini sinkronisasi dan penyelenggara Perlindungan Konsumen," kata dia mengakhiri.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Pengaduan Terkait E-Commerce Naik Drastis di 2020, Terbanyak Soal Ini

Sepanjang tahun 2020, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) telah menerima 282 pengaduan di sektor e-commerce. Jumlah pengaduan ini meningkat drastis dibandingkan 3 tahun sebelumnya yang hanya 32 pengaduan secara akumulasi.

Komisi III, BPKN, Rolas B Sitinjak mengatakan insiden yang banyak diadukan terkait one time password (OTP) atau kode verifikasi dan pengelabuan (phising).

"Insiden yang paling sering terjadi ini OTP dan phising," kata Rolas dalam Catatan Akhir Tahun BPKN 2020, Jakarta, Senin (14/12).

Phising merupakan salah satu jenis kejahatan online yang bisa menimpa siapa saja. Korban phising biasanya tidak merasa berbelanja tapi mendapatkan tagihan dalam jumlah tertentu atau dana yang dimilikinya berkurang bahkan habis.

Baik insiden OTP atau phising menurut Rolas, ini terjadi karena kelalaian konsumen. Konsumen tidak berhati-hati dalam hal memberikan kata kunci (password) kepada pihak yang tidak dikenal.

"Jadi konsumen yang harus cerdas dan lebih hati-hati," ungkap dia.

Pengaduan tentang pengembalian dana dari pembelian produk atau jasa (refund) juga menjadi pengaduan yang banyak dilakukan konsumen. Pengaduan ini banyak berhubungan dengan tiket pesawat atau penginapan. Dalam hal ini, menurut Rolas baik konsumen dan pengusaha tidak dalam posisi bersalah. Sebab pembatalan keberangkatan pesawat atau penginapan terjadi karena situasi pandemi.

Hanya saja dia menyayangkan pengembalian dana dari tiket pesawat yang dibeli penumpang berupa voucher dalam jumlah yang sama dengan harga pembelian. Dalam hal ini sebenarnya tidak diperbolehkan dalam peraturan perundang-undangan.

"Ini sebenarnya tidak boleh karena konsumen membeli dengan uang maka jika dikembalikan harus dalam bentuk yang juga bukan dalam bentuk voucher," kata dia.

Namun sisi lain, Kementerian Perhubungan telah mengeluarkan kebijakan terkait pengembalian dana kepada konsumen diperbolehkan dalam bentuk voucher. "Tapi ada Permenhub yang membolehkan ini karena satu dan lain hal," kata dia.Â