Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Indonesia telah menetapkan defisit APBN tahun anggaran 2021 mencapai 5,7 persen atau sebesar Rp 1.006,4 triliun. Angka ini lebih kecil jika dibandingkan dengan defisit di 2020 sebesar 6,34 persen atau Rp 1.039 triliun.
Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia Ralph Van Doorn mengatakan, sebagai negara yang sudah dinyatakan masuk dalam upper income country, Indonesia memiliki bekal untuk bisa kembali mencapai defisit APBN pada level 3 persen.
Baca Juga
Sehubungan dengan itu, Ralph menuturkan Indonesia perlu untuk memperkuat pendapatan. Diantaranya dengan mempertimbangkan untuk memangkas belanja negara dan efisiensi subsidi.
Advertisement
“Untuk memperkuat pendapatan, ada juga belanja yang bisa dipangkas. Tapi harus dipertimbangkan dengan baik sehingga efisiensi itu bisa dicapai,” ujar dia dalam Indonesia Economy Prospects, Kamis (17/12/2020).
Ralph menghimbau agar pemerintah Indonesia mempertimbangkan alokasi subsidi untuk kelompok yang lebih rentan. “Jadi kalau misalnya mau menggunakan sosial transfer, yaitu subsidinya menyasar 40 persen (kelompok) terbawah itu juga bisa membantu peningkatan PDB dan perlindungan sosial,” kata dia.
Dengan begitu, defisit fiskal bisa ditekan hingga 3 persen. Namun, langkah ini juga tergantung pada pendapatan perpajakan serta beberapa faktor lainnya yang perlu dipertimbangkan lebih lanjut.
“Untuk mengurangi defisit fiskal hingga mencapai 3 persen itu tergantung pada tingkat progresifitas sistem perpajakan, pengeluaran yang bijak, dan bisa juga dilakukan dengan cara yang pro dengan lingkungan hidup,” pungkas pejabat Bank Dunia itu.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Bank Dunia Kembali Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Jadi Minus 2,2 Persen
Bank Dunia (World Bank) kembali mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini menjadi minus 2,2 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan publikasi pertumbuhan ekonomi yang dilakukan pada September lalu yaitu minus 1,6 persen.
Sementara untuk proyeksi 2021, World Bank memperkirakan ekonomi Indonesia positif 3,1 persen. Angka ini juga lebih rendah dibandingkan perkiraan sebelumnya yakni 4,7 persen.
Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia Ralph Van Doorn menjelaskan, koreksi ini mencerminkan pemulihan yang lebih lambat dari perkirakan untuk kuartal III dan sebagian kuartal keempat akibat pembatasan sosial dan meningkatnya kasus covid-19.
“Proyeksi kami untuk 2020 sudah diestimasikan ada sedikit resesi, tapi ada perubahan pada 2021 yaitu tumbuh 4,4 persen untuk PDB riil dan 5,5 persen untuk government budget balance,” katanya dalam Indonesia Economy Prospects, Kamis (17/12/2020).
Meski demikian, Bank Dunia mencatatkan ekonomi Indonesia 2021 akan membaik dan perlahan menguat pada 2022. Hal ini didasarkan pada pembukaan ekonomi tahun depan yang diikuti pembukaan lebih lanjut serta dilonggarkannya aturan pembatasan sosial sepanjang 2022.
Bank Dunia memperkirakan untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan akan berada di angka 4,4 persen yang secara umum didorong oleh pemulihan konsumsi swasta. seiring dengan longgarnya pembatasan sosial.
Perkiraan tersebut juga mengasumsikan bahwa kepercayaan konsumen meningkat. Di sisi lain, hilangnya pendapatan rumah tangga tetap rendah akibat hasil pasar tenaga kerja yang lebih baik dan bantuan sosial yang memadai.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk 2022 diperkirakan menguat ke level 4,8 persen didorong oleh menguatnya konsumsi, investasi dan meningkatnya kepercayaan dengan syarat tersedianya vaksin yang efektif dan aman.
Di sisi lain, menurut Bank Dunia proyeksi acuan dasar ini akan dipengaruhi oleh ketidakpastian yang sangat tinggi terkait dinamika pandemi di Indonesia dan di negara-negara lain.
Bank Dunia mencatat adanya potensi pertumbuhan Indonesia merosot menjadi 3,1 persen pada 2021 dan 3,8 persen pada 2022. Lebih rendah dari skenario terburuk akibat pengetatan PSBB, pertumbuhan global yang lebih lemah dan harga komoditas.
Oleh sebab itu, kinerja pertumbuhan jangka menengah Indonesia sangat bergantung pada penanggulangan potensi dampak negatif krisis terhadap investasi, produktivitas dan modal manusia.
Advertisement